MEDAN, iNewsMedan.id - Uang muka atau down payment (DP) adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pembeli kepada penjual sebagai tanda jadi atas suatu transaksi jual beli. DP ini biasanya merupakan persentase tertentu dari total harga barang atau jasa yang akan dibeli.
Uang muka dianggap jaminan keseriusan sekaligus menunjukkan komitmen serius pembeli untuk melanjutkan transaksi.
Lantas bagaiman Islam memandang model seperti ini yang sudah dianggap lazim?
Dalam kajian fiqih Islam, ini disebut dengan Urbun atau urban "الْعُرْبَانِ". Para ulama berbeda pendapat terkait hukum Urban ini. Mayoritas ulama mengharamkannya, berdasarkan hadis :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari jual beli 'Urban."
Hadis ini diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud (3039 via EH) dengan sanad sebagai berikut :
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah ia berkata, aku membacakannya di hadapan Malik bin Anas bahwa telah disampaikan seseorang dari 'Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya ia berkata :...."
Silsilah Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya pendapat yang rajih sebagaimana pernah kami ulas adalah HASAN HADISNYA, tentunya dengan catatan sanad yang sampai kepada Amr bin Syu'aib bisa diterima
Associate Professor di jurusan Sunnah Universitas Al-Qashim, KSA, Dr. Khalid bin Abdullah ath-Thuuyaan Associate telah menulis sebuah jurnal Ilmiah yang mengupas jual beli Urbun dari sisi hadis maupun Fiqih dan kesimpulan beliau mengenai status hadis yang kita bahas adalah DHOIF setelah beliau paparkan jalan-jalannya secara lengkap. Hadis ini juga didhoifkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam Al-Albani rahimahullah
Jika hadisnya Dhoif, tentu tidak kuat untuk menyokong pendapat ulama yang mengharamkan dimana ini adalah dari kubu Jumhur (mayoritas) ulama, sehingga kembali kepada kaedah asal dalam muamalah yaitu BOLEH. Mereka yang berpendapat bolehnya jual beli model uang muka adalah dari kalangan Mazhab Hanabilah
Bahkan pendapatnya bolehnya ini diperkuat dengan atsar Mu'alaq Shahih Bukhari dengan sighat Jazm yang mengisyaratkan penshahihan dari al-Imam Bukhari :
واشترى نافع بن عبد الحارث دارا للسجن بمكة من صفوان بن أمية على أن عمر إن رضي فالبيع بيعه وإن لم يرض عمر فلصفوان أربع مائة دينار
"Nafi' bin Abdul Haris membeli rumah bekas tahanan milik Shafwan bin Umayyah di Mekkah untuk Umar bin Khattab radhiyyalahu anhu dengan klausul jual beli, kalau nanti Umar suka, maka berlanjutlah transaksi jual belinya, namun kalau Umar tidak suka, maka Shafwan akan mendapatkan 400 dinar."
DR. Ath-Thuuyaan telah mentakhrij atsar yang diriwayatkan dengan sanad bersambung dan MENSHAHIHKANNYA. Sehingga barangkali inilah yang rajih dalam masalah ini, yaitu bolehnya transaksi jual beli dengan uang muka, selama ada kesepakatan antara pembeli dan penjualnya
Akan tetap saran yang bagus dari al-Imam bin Baz rahimahullah berikut ini layak dipertimbangkan :
"Namun jika penjual mengembalikan uang muka pembeli ketika jual beli tidak jadi, maka demikian ini lebih utama dan lebih banyak pahalanya di sisi Allah Ta'âlâ. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
""Barang siapa memberikan persetujuan kepada seorang muslim untuk membatalkan jual belinya, maka Allah akan mengampuni kesalahannya." (HR. Abu Dawud no. 3001, dishahihkan oleh Al-Albani).
Wallahu A'lam
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait