JAKARTA, iNewsMedan.id - Indonesia mengenang sosok Pierre Andries Tendean sebagai perwira militer yang gugur saat peristiwa Gerakan 30 September pada 1965. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Pierre Andries Tendean atau dikenal sebagai Pierre Tendean lahir di tengah era kolonialisme yang mulai rapuh, tepatnya pada 21 Februari 1939. Pierre dilahirkan di Kota Batavia. Dia merupakan anak kedua dari pasangan Dr AL Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Maria Elizabeth Cornet, seorang perempuan Belanda berdarah Prancis.
Mengutip dari buku Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi Biografi Pierre Tendean yang ditulis oleh Abie Besman dkk, Rabu (29/9/2021), masa kecil Pierre dihabiskan dengan berpindah-pindah kota. Hal tersebut lantaran dia harus mengikuti sang ayah yang berprofesi sebagai dokter spesialis jiwa atau psikiatri.
Lahir di Batavia, Pierre kecil sempat menghabiskan waktu di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat usianya tiga tahun, Pierre dan keluarga Tendean lalu pindah ke Magelang, Jawa Tengah. Di sanalah Pierre menikmati masa kanak-kanak, hingga dia mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Botton Magelang.
Di Magelang pula pertama kalinya persinggungan antara Pierre dan Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi. Dalam buku yang sama, diceritakan bahwa saat peristiwa Madiun 1948, gerombolan PKI merampok rumah keluarga Pierre dan menculik sang ayah.
Meski berhasil melarikan diri, namun kaki ayah Pierre terkena tembakan peluru dan membuatnya pincang di sisa hidupnya. Setelah peristiwa itu terjadi, keluarga Pierre lalu pindah ke Semarang untuk mengobati luka tembak di kaki sang ayah. Ayahnya itu lalu menjadi pemimpin di Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang.
Di Semarang inilah, Pierre remaja menghabiskan waktunya. Setelah lulus dari sekolah dasar, dia melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertama (SMP) Negeri 1 Semarang pada 1952. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah atas (SMA) 1 Semarang.
Tamat sekolah, Pierre lalu memutuskan untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi seorang tentara. Dia kemudian masuk ke Akademi Militer, meskipun orang tuanya ingin dia menjadi dokter seperti ayahnya atau insinyur. Tetapi dengan tekad kuatnya, dia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada 1958.
Usai lulus dari akademi militer pada 1961 dengan pangkat letnan dua, Pierre Tendean lalu menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, dia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, Pierre lalu ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia.
Barulah pada 15 April 1965, Pierre Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Lima bulan lebih sejak promosi itu, peristiwa nahas terjadi. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi rumah dinas Nasution.
Pierre Tendean yang saat itu sedang tidur di paviliun yang berada di samping rumah dinas Jenderal Nasution dibangunkan oleh putri sulung sang Jenderal, Yanti Nasution. Dengan cekatan, Pierre pun segera berlari ke bagian depan rumah dan dia ditangkap oleh gerombolan G30S.
Pierre Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya Soeprapto, Soetojo, dan Parman yang saat itu masih hidup, serta Ahmad Yani, DI Pandjaitan, dan MT Harjono yang sudah terbunuh. Pierre diketahui ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.
Jasad Pierre Tendean bersama enam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, dia dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, Pierre Tendean secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.
“Kapten (Czi) Pierre Andries Tendean adalah sosok perwira yang memiliki disiplin, loyalitas, dan kesetiaan luar biasa kepada atasan. Pengorbanan diri adalah pilihan terbaik dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, sebagai prajurit militan yang Saptamargais,” ujar Brigjen TNI Eddy Syahputra Siahaan, dikutip dari buku Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi Biografi Pierre Tendean, Rabu (29/9/2021).
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait