Sahat menambahkan, bunyi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 , Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR; Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR disertai dengan alasannya; dan Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
"Selain itu Perwira Tinggi Polri yang menjadi calon Kapolri harus dilakukan dengan mempertimbangkan pertimbangan Komisi Kepolisian Nasional. Hal itu diwajibkan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Kompolnas," tutur Sahat.
Adapun calon Jaksa Agung, ujar Sahat, tidak seperti itu. Padahal sama - sama berstatus ASN penegak hukum." Jaksa Agung tidak harus berstatus Jaksa aktif atau pernah jadi Jaksa. Jaksa Agung bisa dari unsur non Jaksa. Kenapa ? Karena jabatan Jaksa Agung bukan lah jabatan karir. Seharusnya calon Kapolri juga tidak harus Polri aktif bahkan bisa dari kalangan non Polri. Kami usulkan agar Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 direvisi," ujar Sahat.
Sahat menambahkan, belajar dari peristiwa demi peristiwa yang terjadi di tubuh Kepolisian seperti pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, penyalahgunaan kekuasaan seperti perintah diluar tugas untuk menembak dan lain sebagainya akan berulang kembali apabila pimpinan tertinggi Polri masih memakai cara militeristik.
"Padahal fungsi utama Polri adalah penegak hukum sipil, bukan militer. Itu tujuan pemisahan Polri dari ABRI. Proses sipilisasi polisi belum berjalan sebagaimana mestinya. Mensipilkan polisi adalah menjadikan polisi lebih manusiawi dalam penegakan hukum. Saya melihat, arogansi kekuasaan dan penggunaan kekerasan masih mendominasi tugas - tugas kepolisian selama ini termasuk pada kasus kematian Brigadir J. Arogansi kekuasaan dan pendekatan kekerasan menjadi sesuatu yang sulit dirubah," kata Sahat.
Salah satu cara mempercepat proses sipilisasi polisi, ujar Sahat adalah merevisi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 yakni Kapolri tidak harus berasal dari Kepolisian sama seperti Jaksa Agung tidak harus dari unsur pimpinan tinggi Kejaksaan, bahkan bisa dari non Jaksa. Selain itu, ujar Sahat, penunjukan Kapolri tidak lagi diajukan Presiden kepada DPR." Presiden langsung menunjuk dan memilih Kapolri sama seperti menunjuk dan memilih Jaksa Agung." ujar Sahat.
Faktanya, sambung Sahat, intervensi politik kepada Kapolri malah lebih besar dari pada kepada Jaksa Agung, karena Kapolri dipilih DPR yang terdiri dari banyak kepentingan partai politik.
"Jadi usul kami kongkrit, revisi Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002. Pertama Kapolri tidak harus berasal dari Pati Polri bahkan bisa dari kalangan non polisi dan yang kedua penunjukan Kapolri tidak lagi diajukan Presiden kepada DPR, melainka langsung ditunjuk Presiden seperti Jaksa Agung," tutur Sahat.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait