Berlaku Mulai 14 September 2025, Berikut Daftar Kendaraan yang Boleh Isi Pertalite

MEDAN, iNewsMedan.id - Saat ini, Pemerintah menyiapkan aturan baru yang akan mengubah wajah konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi di Indonesia.
Adapun revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, pemerintah menegaskan, untuk Pertalite hanya bisa digunakan oleh kendaraan tertentu dengan kapasitas mesin kecil.
Nantinya, masyarakat dengan mobil bermesin di atas 1.400cc dan motor berkapasitas mulai dari 250cc tidak lagi diperbolehkan membeli Pertalite di SPBU Pertamina.
Tentu langkah ini menjadi bagian dari strategi subsidi tepat sasaran, agar bantuan energi dari negara benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2019-2024, Arifin Tasrif, mengatakan, Pertalite tidak boleh lagi digunakan secara bebas oleh seluruh jenis kendaraan.
“Pemerintah ingin memastikan subsidi tidak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas yang sebenarnya mampu membeli BBM nonsubsidi. Karena itu, mobil di atas 1.400cc dan motor di atas 250cc akan dilarang mengisi Pertalite,” kata Arifin ketika itu dalam konferensi pers di Jakarta.
Kebijakan tersebut dinilai penting, mengingat alokasi subsidi energi dalam APBN terus meningkat tajam.
Pemerintah ingin menjaga agar dana subsidi yang berasal dari pajak rakyat tidak salah sasaran.
Pertalite diluncurkan pada 2015 sebagai BBM transisi pengganti Premium.
Dengan angka oktan 90, Pertalite memiliki harga lebih murah dibandingkan Pertamax dan dianggap ramah untuk masyarakat menengah ke bawah.
Akan tetapi pada praktiknya, Pertalite justru banyak dikonsumsi oleh kendaraan berkapasitas besar yang seharusnya menggunakan Pertamax.
Hal itu mengakibatkan subsidi pemerintah membengkak dan tidak tepat sasaran.
Data Kementerian ESDM mencatat, konsumsi Pertalite pada 2024 mencapai lebih dari 30 juta kiloliter, dan melebihi kuota yang ditetapkan.
Pemerintah harus menanggung beban subsidi hingga puluhan triliun rupiah.
“Jika tidak dikendalikan, subsidi energi akan membebani APBN. Karena itu, kita perlu menata ulang agar tepat sasaran,” tegas Arifin Tasrif.
Editor : Chris