Hidup Ratusan Warga Terancam, Gudang Kalimantan Jaya Minta Keadilan di Tengah Badai Izin

MEDAN, iNewsMedan.id - Aktivitas Gudang Jasa Penangkutan Kargo Kalimantan Jaya di Medan, yang menjadi urat nadi penghidupan ratusan pekerja, kini terancam dihentikan di tengah polemik tuduhan pelanggaran administratif. Pihak perusahaan menegaskan bahwa perizinan sedang dalam proses dan menyoroti adanya tekanan dari pihak luar yang berpotensi menunggangi isu ini.
Humas Kalimantan Jaya, Lia mengatakan bahwa gudang ini bukan sekadar fasilitas logistik, melainkan sumber rezeki bagi banyak keluarga. "Bangunan itu adalah urat nadi penghidupan bagi ratusan orang yang bergantung pada aktivitas di dalamnya," ujar Lia, Senin (23/6/2025).
Tuduhan pelanggaran administratif yang beredar di media telah menimbulkan tekanan besar untuk menghentikan operasional dan meruntuhkan bangunan. Namun, Lia menegaskan bahwa Izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk gudang ini sedang dalam proses pengurusan resmi sesuai ketentuan.
"Surat permohonan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) atau Keterangan Rencana Kota (KRK) sebagai syarat administratif PBG juga telah diajukan," terangnya.
Kata Lia, dukungan administratif dari pemerintah tingkat lokal juga telah dikantongi, termasuk surat rekomendasi dari kepala lingkungan (kepling), camat, dan lurah. Bahkan, untuk isu penebangan pohon yang sempat disorot, rekomendasi dari Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi pun sudah dikeluarkan.
Pihak Kalimantan Jaya juga berkomitmen penuh terhadap penataan lingkungan dan telah menjadwalkan pembenahan taman yang sempat terganggu pada minggu depan.
Di balik semua ini, muncul kekhawatiran adanya indikasi manuver dari organisasi tertentu, seperti LSM dengan inisial GSR, yang diduga mencoba mengambil keuntungan di tengah kisruh ini. Pihak gudang bahkan telah berkoordinasi dan melapor kepada lurah serta kepling setempat mengenai tekanan non-formal yang datang dari luar proses hukum.
"Belum ada pelanggaran hukum yang final. Tidak ada putusan inkracht. Belum ada kesimpulan hukum yang patut dijadikan dasar untuk tindakan drastis seperti pembongkaran. Namun tekanan datang lebih cepat daripada keadilan," tutur Lia, menyayangkan suara tuntutan yang kian keras tanpa memberi ruang penjelasan.
Dampak dari polemik ini sangat dirasakan oleh para pekerja. Elda, seorang pekerja harian di gudang Kalimantan Jaya, mengungkapkan kekhawatirannya. "Kami ini cuma cari makan. Kalau tempat ini ditutup, kami harus hidup dari mana?" tanyanya.
Ia menjelaskan bahwa tak kurang dari ratusan orang menggantungkan hidup pada operasional gudang ini, mulai dari sopir truk, buruh bongkar muat, petugas keamanan, pengelola logistik, hingga para pedagang kecil di sekitar area.
Gudang ini bukan hanya titik distribusi barang, tetapi juga menopang ekosistem ekonomi rakyat kecil yang nyata keberadaannya.
Elda juga menyampaikan bahwa di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit, tindakan pembongkaran sepihak tanpa dialog dan solusi justru dapat menciptakan bencana sosial berskala kecil. "Ini dapat memutus rantai rezeki yang menjadi penyangga kehidupan banyak keluarga," ucapnya.
Mengenai tuduhan lain seperti dugaan perusakan trotoar, penebangan pohon, atau kemacetan lalu lintas, Elda berpendapat bahwa pendekatannya haruslah bijak dan solutif. Penataan ulang, perbaikan fasilitas umum, dan pengawasan yang lebih ketat jauh lebih masuk akal daripada tindakan represif dan destruktif seperti pembongkaran.
Yang menyedihkan, hingga saat ini belum ada ruang resmi bagi Kalimantan Jaya untuk memberikan klarifikasi di media yang telah menyebarkan pemberitaan, menciptakan narasi sepihak.
"Kami tidak menolak hukum. Kami hanya minta waktu kesempatan untuk menyelesaikan proses administratif. Jangan hukum kami sebelum semuanya jelas," jelas seorang pengelola gudang.
Elda berharap bahwa prinsip keadilan tidak cukup ditegakkan dengan pasal-pasal, melainkan harus dilandasi oleh hati nurani. "Jika hukum ditegakkan tanpa empati, maka keadilan kehilangan makna sejatinya," ujarnya.
Saat ini, pihak Kalimantan Jaya dan para pekerja hanya menggantungkan harapan pada pemerintah dan masyarakat agar diberikan ruang untuk berbicara dan didengar.
Editor : Jafar Sembiring