Ia menambahkan bahwa keberhasilan birokrasi kini tidak diukur dari jumlah dokumen yang diproses atau aturan yang ditegakkan, tetapi dari dampaknya pada masyarakat.
"Keberhasilan birokrasi tidak lagi diukur dari jumlah dokumen yang diproses dan aturan yang ditegakkan, atau seberapa banyak anggaran terserap, melainkan seberapa besar program itu berdampak pada masyarakat," imbuhnya.
Hal serupa terjadi dalam bidang keimigrasian. Dulu, keimigrasian hanya dipandang sebagai instrumen negara untuk pengawasan perbatasan dan regulasi perlintasan. Kini, paradigmannya telah berubah.
"Keimigrasian menjadi pintu gerbang hubungan antarbangsa, cermin pertama wajah Indonesia di mata warga negara asing. Kemudian, Keimigrasian kini menyentuh aspek yang lebih dalam, bagaimana negara memperlakukan masyarakatnya serta warga negara asing, dengan nilai-nilai profesionalisme dan kemanusiaan," ujar Abdullah.
Ia menekankan bahwa pelayanan keimigrasian yang cepat, ramah, dan humanis berkontribusi besar terhadap citra bangsa.
"Inti perubahan ini adalah transformasi pelayanan yang berorientasi pada manusia (human-centered services). Seperti halnya bisnis 'hospitality’ di perhotelan atau restoran, dimana konsumen dihargai waktunya, kenyamanan dan kemudahannya. Dan ini bukan semata tentang efisiensi, tetapi juga soal inklusivitas dan kepedulian. Yaitu memastikan bahwa pelayanan mampu menjangkau semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang rentan, seperti difabel, lansia, atau keluarga dengan anak kecil," imbuhnya.
Abdullah percaya, transformasi keimigrasian bukan sekadar adaptasi teknologi dan digitalisasi, tetapi juga soal cara pandang. Yaitu simbol keadaban dan kemajuan bangsa Indonesia.
Editor : Ismail