Tentu saja, Mayor Soares merasa marah. Namun, dengan kecerdikan, Hamzah mengantarnya ke kantor Imigrasi di Denpasar. Ketika Mayor Soares akhirnya ditemui oleh kepala Imigrasi di ruangannya, koper yang dibawanya ditinggalkan di luar ruangan. Saat itulah, dengan kecepatan yang luar biasa, Hamzah membuka kunci koper. Dokumen-dokumen rahasia milik Soares kemudian difoto oleh prajurit intel lain yang bertugas sebagai fotografer.
Selain keberhasilan operasi di Bali tersebut, Hans Hamzah juga sukses memimpin sebuah operasi mata-mata dengan kode nama "Puyuh." Operasi ini dilancarkan ketika Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) mencurigai kedatangan Hugo Tinguely, seorang mahasiswa asal Swiss, ke Jakarta pada bulan April 1977.
Bakin sebelumnya telah menerima memo dari CIA yang mengindikasikan kemungkinan adanya serangan terhadap kampanye Golkar yang dijadwalkan akan berlangsung di Stadion Senayan. Namun, informasi tersebut datang dari sumber yang belum tentu dapat dipercayai menurut CIA.
Kemudian, Bakin juga menerima informasi dari mitra intelijennya di luar negeri. Sebelum datang ke Indonesia, Tinguely telah tinggal selama sebulan di Jepang. Di negara tersebut, ia menjadi target pengejaran oleh pihak kepolisian karena dicurigai memiliki simpati terhadap Tentara Merah Jepang. Informasi ini membawa kesimpulan bahwa Tinguely menjadi sasaran yang perlu diawasi dan diperoleh informasinya.
"Satsus Intel segera melakukan operasi pengintaian terhadap mahasiswa yang menjadi target kecurigaan ini. Dengan menggunakan kode nama "Puyuh," tim ini dipimpin oleh Hans Hamzah," demikian dijelaskan oleh Ken.
Di hotel tempat Tinguely menginap, Hamzah yang berpura-pura menjadi seorang guru dari Singapura berhasil menjalin hubungan di lobi. Dengan cepat, mereka menjadi akrab satu sama lain. Hamzah memberitahu mahasiswa yang sebelumnya belajar di Jerman Barat tersebut tentang pilihan penginapan yang lebih terjangkau. Tinguely setuju untuk melihatnya keesokan harinya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta