get app
inews
Aa Text
Read Next : Siapa Saja 13 Perwira TNI AD yang Naik Pangkat Menjadi Brigadir Jenderal, Berikut Daftar Nama Mereka

Hans Hamzah Intel TNI Keturunan Tionghoa, Jago 6 Bahasa Asing Sukses Bongkar Koper Mayor Portugal

Minggu, 20 Agustus 2023 | 11:34 WIB
header img

MEDAN, iNewsMedan.id - TNI AD pada masa lalu pernah memiliki agen intelijen Hans Hamzah yang memiliki kemampuan penyamaran yang sangat istimewa. Prajurit TNI AD keturunan Tionghoa ini menjadi bawahan raja intel LB Moerdani. Keberadaannya begitu misterius, bahkan di kalangan militer sendiri.

Namun, siapa sebenarnya Hans Hamzah dan bagaimana dia bisa diidentifikasi dapat ditemukan dari tulisan Ken Conboy, seorang penulis buku-buku mengenai sejarah militer Asia dan operasi intelijen.

LB Moerdani

Dalam bukunya yang berjudul "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia," Ken Conboy menjelaskan, "Hamzah, salah satu dari sedikit orang Tionghoa di Unit Intelijen Khusus (Satsus Intel), memiliki keahlian berbahasa yang luar biasa. Dia fasih berbicara dalam enam bahasa dan sangat terampil dalam membuka kode-kode." Buku ini dikutip pada Minggu (20/8/2023).

Menurut penuturan Ken, Hans Hamzah adalah anggota dari Satsus Intel yang terlibat dalam operasi sandi bernama Operasi Flamboyan yang dirancang oleh Benny Moerdani. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi dan fokus pada penargetan koper militer Atase Militer Portugal, Mayor Antonio Joao Soares, yang tiba di Indonesia dan hendak menuju Timor Timur (kini dikenal sebagai Timor Leste). Saat itu, Timor Timur masih merupakan wilayah jajahan Portugal.


Jenderal LB Moerdani (Kanan).

Hans Hamzah memainkan peran penting dalam Operasi Flamboyan pada tahun 1975. Setelah usaha untuk membuka isi koper Soares di Jakarta tidak berhasil, Kolonel Dading merancang strategi baru. Hans Hamzah menyamar sebagai Kepala Cabang Maskapai Merpati Airlines ketika Mayor Soares berada di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, dalam persiapan terbang ke Kupang. Ketika Mayor Soares melapor di imigrasi, Hamzah secara spontan berpura-pura bahwa visa sang atase memerlukan persetujuan tambahan dari pihak imigrasi.

"Mayor Antonio Joao Soares diminta untuk melapor di kantor imigrasi setempat untuk pemeriksaan rutin. Pada kenyataannya, tindakan ini merupakan bagian dari rencana yang dikelola oleh Kolonel Dading Kalbuadi atas perintah Brigadir Jenderal Benny Moerdani, dengan tujuan untuk mengetahui isi dokumen yang dibawa oleh perwakilan Portugal tersebut," tulis Julius Pour dalam bukunya yang berjudul "Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan."

Tentu saja, Mayor Soares merasa marah. Namun, dengan kecerdikan, Hamzah mengantarnya ke kantor Imigrasi di Denpasar. Ketika Mayor Soares akhirnya ditemui oleh kepala Imigrasi di ruangannya, koper yang dibawanya ditinggalkan di luar ruangan. Saat itulah, dengan kecepatan yang luar biasa, Hamzah membuka kunci koper. Dokumen-dokumen rahasia milik Soares kemudian difoto oleh prajurit intel lain yang bertugas sebagai fotografer.

Selain keberhasilan operasi di Bali tersebut, Hans Hamzah juga sukses memimpin sebuah operasi mata-mata dengan kode nama "Puyuh." Operasi ini dilancarkan ketika Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) mencurigai kedatangan Hugo Tinguely, seorang mahasiswa asal Swiss, ke Jakarta pada bulan April 1977.

Bakin sebelumnya telah menerima memo dari CIA yang mengindikasikan kemungkinan adanya serangan terhadap kampanye Golkar yang dijadwalkan akan berlangsung di Stadion Senayan. Namun, informasi tersebut datang dari sumber yang belum tentu dapat dipercayai menurut CIA.

Kemudian, Bakin juga menerima informasi dari mitra intelijennya di luar negeri. Sebelum datang ke Indonesia, Tinguely telah tinggal selama sebulan di Jepang. Di negara tersebut, ia menjadi target pengejaran oleh pihak kepolisian karena dicurigai memiliki simpati terhadap Tentara Merah Jepang. Informasi ini membawa kesimpulan bahwa Tinguely menjadi sasaran yang perlu diawasi dan diperoleh informasinya.

"Satsus Intel segera melakukan operasi pengintaian terhadap mahasiswa yang menjadi target kecurigaan ini. Dengan menggunakan kode nama "Puyuh," tim ini dipimpin oleh Hans Hamzah," demikian dijelaskan oleh Ken.

Di hotel tempat Tinguely menginap, Hamzah yang berpura-pura menjadi seorang guru dari Singapura berhasil menjalin hubungan di lobi. Dengan cepat, mereka menjadi akrab satu sama lain. Hamzah memberitahu mahasiswa yang sebelumnya belajar di Jerman Barat tersebut tentang pilihan penginapan yang lebih terjangkau. Tinguely setuju untuk melihatnya keesokan harinya.

Seperti yang dijanjikan, pada keesokan harinya mereka bertemu. Hamzah membawa Tinguely ke guest house di Jalan Raden Saleh, Cikini, yang memiliki harga lebih terjangkau. Tinguely menyetujui untuk tinggal di sana.

Dengan kedekatan mereka, Hamzah juga mengajak Tinguely untuk berjalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pada saat itu, Tinguely menyadari bahwa dia sedang diawasi oleh para mata-mata. Namun, dia tidak pernah meragukan niat Hamzah sedikit pun.

"Indonesia memiliki banyak agen rahasia," katanya kepada Hamzah. Tinguely menyadari bahwa dia sedang diintai karena banyak fotografer yang mengambil gambar darinya dari jauh. Fotografer-fotografer tersebut sebenarnya adalah agen-agen intelijen yang beroperasi di bawah kendali langsung Benny Moerdani.

Namun, Operasi Puyuh ini ternyata tidaklah "menakutkan" seperti yang diperkirakan. Tinguely, yang terlalu percaya pada Hamzah dan telah banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya baik di Jepang maupun Jerman Barat, dianggap bukan ancaman serius. "Dia hanyalah seorang propagandis bersemangat daripada seorang teroris sejati," ujar Ken.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut