MEDAN, iNewsMedan.id– Harga tiket tidak merakyat merupakan implikasi negatif yang memiliki benang merah atas konflik penyelenggaraan Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) Ke-49 tahun ini.
Sudut pandang tersebut dikemukakan Ekonom Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin dalam mencermati kisruh kerjasama antara PT Harmoni Muda Inovasi (HMI) dan PT Pembangunan Prasarana Sumatera Utara (PPSU).
“Dalam konteks ini saya pikir Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), terkhusus Gubernur Edy Rahmayadi, mengalami kerugian immaterial cukup tinggi,” ujar Gunawan kepada wartawan di Medan, Sabtu, 15 Juli 2023.
Dia menjelaskan, kali ini harga tiket masuk ke arena PRSU terbilang cukup mahal. Tidak merakyat, saat ekonomi masyarakat masih dalam tekanan.
Diketahui, harga tiket masuk ke arena PRSU saat ini sebesar Rp20 ribu untuk Senin hingga Kamis. Sedangkan untuk hari Jumat dan Minggu Rp35 ribu dan khusus hari Sabtu menjadi Rp50 ribu.
“Harga itu jelas tidak merakyat dan tidak menguntungkan bagi pelaku UMKM yang menjadi tenant di arena PRSU. Pengunjung terbilang sepi,” ungkapnya.
Bagi Pemprovsu, terlebih Gubsu Edy Rahmayadi di penghujung masa jabatannya, kondisi tersebut menurutnya cukup merugikan. Gubsu dapat dipandang sebagai pejabat publik yang tidak peka dengan keadaan masyarakat.
“Yang kita tahu, publikasi yang disampaikan PT HMI jika PRSU Ke-49 atau disebut juga Sumut Fair 2020 jadi terselenggara dan tidak terhalang pandemi, harga tiket masih sama dengan sebelum-sebelumnya, yakni Rp20 ribu untuk hari Senin sampai dengan Kamis dan Rp25 ribu untuk Jumat hingga Minggu,” bebernya pula.
Moral Hazard
Di sisi lain, konflik antara PT HMI dan PT PPSU terkait penyelenggaraan PRSU Ke-49 dipandang sangat berpotensi menjadi moral hazard (risiko moral) bagi Gubsu Edy Rahmayadi, jika tidak segera diselesaikan.
Pandangan ini dikemukakan secara terpisah oleh Sekretaris Kelompok Kerja Kehumasan Sumatera Utara (Pokja Humas Sumut), Mirza Syahputra, Sabtu, 15 Juli 2023.
“Secara moral, Gubsu Edy Rahmayadi harus menunjukkan iktikad menyelesaikan konflik yang mengiringi perjalanan PRSU. Ini menyangkut tumbuh-kembangnya UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah), sekaligus legacy politiknya di penghujung masa jabatan,” ungkap Mirza.
Pria yang dikenal sebagai praktisi pemasaran (marketing) produk massal (mass product) asal Kota Medan ini berpendapat begitu setelah mencermati konflik antara PT HMI dan PT PPSU yang belakangan mengemuka.
“Sebagai sebuah entitas bisnis skala UMKM di Sumut, pengharapan PT HMI menurut saya manusiawi dan patut direspons. Jika pandemi Covid-19 tidak melanda dunia tahun 2020 lalu, maka PT HMI sejatinya muncul sebagai pionir dalam upaya menginovasi penyelenggaraan PRSU,” tukasnya.
Sebagai praktisi, Mirza mengaku sempat mengikuti rangkaian kick-off Sumut Fair 2020 yang diselenggarakan PT HMI dalam rangka sosialisasi konsep, sebelum akhirnya even bisnis tersebut dinyatakan oleh Gubsu Edy ditunda lantaran pandemi.
“Waktu itu saya menyimpulkan konsepnya bagus, lebih mengadopsi penyelenggaraan ekspo di luar negeri, juga Jakarta Fair. Mereka berencana mengemas Sumut Fair 2020 sebagai ruang komunikasi dan transaksi entitas bisnis,” ungkapnya.
Sementara, lanjut dia, penyelenggaraan PRSU sebelumnya boleh dikata hanya sebagai sarana hiburan. Tak tercermin sebagai arena bertemunya para pelaku bisnis.
“Ya betul-betul pekan rayalah, tak ubahnya pasar malam gitu. Yang lalu-lalu penyelenggaraannya seperti itu. Info yang saya dengar, penyelenggaraan PRSU 2023 ini juga kurang lebih sama: seperti pasar malam,” tandasnya, sembari mengungkap pesimisme bahwa PRSU Ke-49 dapat menumbuhkembangkan iklim investasi di Sumatera Utara.
Editor : Ismail