“Pembuatan film memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun saat memulai pengerjaan, kami dari 3 PH yang terlibat sangat optimis bisa menjalani semua proses pra-produksi, produksi, hingga post pro. Awalnya begitu, tapi pada kenyataannya banyak pelajaran berharga yang kami dapat, yang bisa dijadikan kekuatan buat film berikutnya nanti, karena bidang ini sangat potensial untuk digarap,” ujarnya.
Medan dengan penduduk sekira 1 juta jiwa merupakan potensi pasar perfilman yang menjanjikan. Antusias penonton bioskop di Medan dan sekitarnya menjadi peluang bisnis di bidang perfilman. Begitu juga sumber daya manusianya. Setidaknya ada 99 profesi yang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Ini akan menjadi lapangan kerja bidang kreatif yang bisa menambah pendapatan dan pasti berdampak pada perekonomian daerah. Hanya saja, pemerintah dan swasta belum melirik bidang ini sebagai salah satu sektor yang perlu diberi investasi proporsional.
Menurut Ketua Asosiasi Sineas Medan ini, naik daunnya sejumlah film Indonesia di bioskop tanah air akhir-akhir ini menjadi spirit bagi sineas Indonesia manapun untuk membuat film dengan lebih baik lagi. Namun tantangannya lagi-lagi persoalan investasi dan distribusi. Banyak sineas yang memiliki ide dan talenta di produksi film, namun masih terbatas pada hal terkait investasi dan distribusi.
“Sineas Medan perlu bergandengan tangan untuk mengikis keterbatasan-keterbatasan tadi. Secara pribadi ini merupakan kegelisahan sejak saya produksi film La Lebay pada 2015 lalu. Kita harus berkolaborasi, karena membuat film dan menjualnya adalah kerja tim yang berkesinambungan,” ujar Djenni.
Editor : Ismail
Artikel Terkait