Kolaborasi Sektor Properti dan Paradigma Opsi Penyeselesaian Sengketa Damai

Jafar
Ilustrasi perumahan. (Foto: MPI).

Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) memberikan tanggung jawab kepada Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah yang menjalankan fungsi negara, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) menjabarkan amanat konstitusi dengan terobosan program satu juta rumah untuk mengejar angka backlog penyediaan perumahan.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR sebelumnya menyampaikan bahwa dalam mencapai target program satu juta rumah, kemampuan pemerintah untuk membangun fisik rumah MBR hanya sebesar 20 persen. Sementara 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan MBR dengan bantuan subsidi KPR, subsidi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non-subsidi oleh pengembang. Artinya, dalam rangka penyediaan perumahan untuk mengejar angka backlog memang membutuhkan kolaborasi antar-stakeholder, dalam hal ini adalah pemerintah, pengembang dan juga peran masyarakat. 

Berdasarkan asas kemitraan dalam UU PKP, kolaborasi pemerintah dan pengembang menjadi kunci keberhasilan program satu juta rumah. Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan melibatkan peran pelaku usaha dan masyarakat, dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Perkembangan Sengketa pada Sektor Properti

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat jumlah pengaduan konsumen secara individu mencapai 563 kasus pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, sekitar 81 kasus di antaranya yaitu sekitar 14,4 persen merupakan pengaduan terkait sektor perumahan. Mengacu pada data YLKI tersebut, jenis permasalahan yang paling sering terjadi di sektor properti mencakup pembangunan 26,1 persen, refund 23,8 persen, dokumen 9,5 persen, spesifikasi bangunan 9,5 persen, dan sistem transaksi 5,9 persen.

Dalam teori penyelesaian sengketa atau teori konflik, pengertian konflik itu sendiri menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan (serentak). Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan teori tentang penyelesaian sengketa ada lima, yaitu: 

a. Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai bagi salah satu pihak saja. 

b. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi kepentingan diri sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan. 

c. Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak. 

d. Withdrawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis. 

e. In action (diam), yaitu tidak melakukan tindakan apapun.

Apabila dilihat dari tipologinya, pembangunan perumahan terbagi atas tiga tahapan, pertama adalah tahap perizinan, kedua adalah tahap pembangunan dan ketiga adalah tahap jual beli. Dalam tahap pembangunan inilah sangat erat kaitannya dengan kegiatan pemasaran dan proses perjanjian pendahuluan jual beli (PPJB) yang mengandung unsur-unsur keperdataan. Seringkali terdapat permasalahan-permasalahan sengketa antara pengembang dengan konsumen seperti halnya adanya pembebanan biaya dan refund yang timbul dari down payment, booking fee ataupun biaya-biaya lainnya serta klaim antar masing-masing pihak, baik yang timbul dari kelalaian pihak pengembang maupun dari pihak konsumen seperti kesesuaian mutu dan spesifikasi serta jadwal serah terima. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada secara damai sehingga masing-masing pihak dapat menerima manfaatnya?

Undang-Undang PKP memberikan pengaturan mengenai cara penyelesaian sengketa, dimana semangat utama yang diusung adalah penyelesaian sengketa terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila kesepakatan tidak tercapai, maka selanjutnya penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui jalur pengadilan ataupun di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia, yaitu arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan penilaian ahli.

Beleid Penyelesaian Sengketa Bidang Perumahan 

Pemerintah melalui Kementerian PUPR sebagai pembina di bidang perumahan dan kawasan permukiman memulai langkah progresif dalam mengatur sektor properti dengan diundangkannya Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (Permen PPJB) dan peraturan menteri Nomor 12 Tahun 2020 tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Permen Peran Masyarakat). 

Dalam Permen PPJB, perlindungan konsumen properti sangat diutamakan. Langkah pemerintah ini menjadikan konsumen properti yang selama ini berada pada kedudukan yang sangat timpang dengan pengembang, dengan berlakunya Permen PPJB ini, kedudukannya menjadi setara dan memberikan kepastian hak-haknya dapat terpenuhi oleh pengembang. Sejak diundangkanya Permen PPJB ini banyak sekali mendapat penolakan dari pengembang dan dianggap hanya menguntungkan satu pihak saja yakni konsumen. 

Tidak berselang lama pemerintah mengundangkan Permen Peran Masyarakat dimana didalamnya mengatur terkait pembentukan Forum PKP untuk mempertemukan dan membicarakan kepentingan bersama dalam penyelenggaraan PKP. Forum PKP ini dapat menjalankan tugas dan fungsi terkait penyelesaian sengketa yaitu melakukan peran arbitrase dan mediasi. 

Apabila dilihat dari kebijakan yang diambil pemerintah, kedua peraturan tersebut sangat erat sekali kaitannya. Dalam Permen PPJB, pemerintah berusaha mengangkat kedudukan konsumen yang selama ini selalu berada di bawah pengembang, dengan adanya regulasi ini, kedudukannya menjadi setara. Selanjutnya dengan adanya Permen Peran Masyarakat, pemerintah berusaha untuk membawa sengketa-sengketa yang ada ke arah penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mengutamakan musyawarah, perdamaian dan win-win solution. Paradigma yang ingin dibangun adalah memposisikan antara pengembang dan konsumen adalah merupakan mitra pemerintah dalam penyelenggaraan PKP, sehingga sudah sewajarnya sengketa-sengketa properti dapat diselesaiakan dengan jalan damai dan saling menguntungkan para pihak.

Model Penyelesaian Sengketa

Forum PKP dibentuk dibentuk untuk tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota daan terdiri dari unsur-unsur: instansi pemerintah yang terkait dengan bidang PKP, asosiasi perusahaan penyelenggara PKP, asosiasi profesi penyelenggara PKP, asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha penyelenggara PKP, pakar di bidang PKP dan/atau lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili konsumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan PKP. Melalui Forum PKP inilah pengajuan permohonan bantuan penyelesaian sengketa serta penentuan pemilihan arbiter/mediator dilakukan, tentunya pemilihan arbiter/mediator tersebut harus dapat menjamin kenetralan dan mencerminkan keterwakilan unsur-unsur stakeholder dan ataupun keahliannya.

Mediasi

Mediasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (impartial) yang turut aktif memberikan arahan agar mencapai penyelesaian dan kesepakatan, namun mediator tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Dengan demikian hasil penyelesaian sengketanya bersifat kompromi.

Arbitrase

Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang diberi kewenangan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, sehingga berwenang mengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat (binding). Para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak ketiga yang netral yang disepakati untuk membuat keputusan. Dalam arbitrase para pihak memilih arbiter yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin kenetralan dan dapat memilih orang yang ahli di bidangnya.

Mediasi-Arbitrase

Mediasi-Arbitrase atau Med-Arb merupakan bentuk kombinasi penyelesaian sengketa antara mediasi dan arbitrase. Proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara sebelum sengketa diajukan kepada arbiter, terlebih dahulu harus diajukan kepada mediator. Mediator membuat para pihak untuk melakukan perundingan untuk mencapai penyelesaian. Jika proses mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator memberikan pendapat agar penyelesaian sengketa tersebut diajukan kepada arbiter. Yang dapat bertindak sebagai arbiter bisa mediator yang bersangkutan atau yang lainnya.

 

Helda Shantyabudi, SH

Analis Hukum Ahli Pertama 

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Editor : Jafar Sembiring

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network