GAZA, iNewsMedan.id - Sebuah laporan investigasi dari media Denmark, The Information, mengungkap adanya strategi militer Israel di Jalur Gaza yang kontroversial. Laporan tersebut menyebutkan bahwa militer Israel menggunakan kelompok kriminal Palestina yang dipimpin oleh Yasser Abu Shabab untuk mendirikan "desa-desa kolaborator" di Gaza. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya Israel untuk melawan Hamas.
Laporan yang diterbitkan pada Jumat lalu ini membeberkan bahwa Israel tidak hanya mempersenjatai dan mendanai para gangster tersebut, tetapi juga bekerja sama dengan mereka untuk menyusup ke masyarakat Gaza. Israel diduga menawarkan perlindungan dan menutup mata terhadap berbagai kejahatan yang mereka lakukan.
Mengulang Kebijakan 'Gagal' di Tepi Barat
Strategi ini disebut-sebut menggemakan kebijakan "liga desa" yang didukung Israel di Tepi Barat pada tahun 1978-1984, yang bertujuan melemahkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) namun pada akhirnya gagal karena penolakan luas dari rakyat Palestina.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka membela kebijakan ini, menggambarkannya sebagai "mobilisasi suku-suku untuk melawan Hamas." Ia mengklaim bahwa langkah ini telah "menyelamatkan nyawa tentara Israel." "Apa yang salah dengan itu? Itu menyelamatkan nyawa tentara IDF," ujarnya kepada wartawan.
Meskipun Israel tidak secara eksplisit menyebutkan nama kelompok bersenjata ini, foto-foto yang diterbitkan oleh The Guardian dan dikonfirmasi melalui citra satelit menunjukkan orang-orang di bawah komando Abu Shabab berjalan bersama tentara Israel di Gaza selatan.
Sosok Abu Shabab dan Tuduhan Kriminal
Yasser Abu Shabab, 31, dikenal sebagai mantan penjahat Palestina yang dituduh menyelundupkan senjata dan narkoba. Ia sempat dipenjara sebelum perang Gaza, namun berhasil melarikan diri saat invasi Israel pada Oktober 2023. Setelahnya, ia muncul sebagai pemimpin milisi yang menggunakan slogan-slogan "kontra-terorisme" dan seragam dengan bendera Palestina.
PBB dan otoritas lokal menuduhnya mendalangi penjarahan bantuan kemanusiaan secara sistematis, terutama di sekitar perlintasan Kerem Shalom. Sebuah memo PBB yang bocor menggambarkannya sebagai "aktor paling penting dan berpengaruh" di balik pencurian tersebut. Kelompoknya juga dikaitkan dengan pemukulan, penculikan, dan pembunuhan pengemudi truk bantuan.
Namun, Abu Shabab membantah tuduhan ini, menyebutnya sebagai "propaganda Hamas" dan mengklaim tindakannya "untuk memberi makan keluarga saya." Klaimnya sebagai pemimpin suku juga ditolak oleh kepala sukunya sendiri, yang menyatakan bahwa Abu Shabab "hanya mewakili dirinya sendiri."
Kekhawatiran dari Mantan Intelijen Israel
Kebijakan ini menuai kritik, bahkan dari dalam Israel sendiri. Michael Milstein, mantan perwira intelijen yang kini memimpin Forum Studi Palestina di Universitas Tel Aviv, membandingkan strategi ini dengan kesalahan AS di Afghanistan yang mempersenjatai milisi lokal yang kemudian menjadi Taliban.
"Kami mengambil risiko besar. Kami tidak tahu apakah kelompok-kelompok ini akan tetap setia kepada kami," ujarnya dalam sebuah podcast. Ia menambahkan, kelompok Abu Shabab bukanlah alternatif politik yang layak dan tidak menimbulkan ancaman nyata bagi Hamas.
Sejarawan dan pakar Timur Tengah, James L. Gelvin, juga menyebut kebijakan Israel ini sebagai "trik lama yang gagal." Ia menyimpulkan bahwa langkah untuk memecah belah masyarakat Palestina dan mendukung kelompok bersenjata tanpa legitimasi adalah pengulangan kesalahan masa lalu yang berbahaya.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait