KontraS mencatat dua motif utama dalam praktik penyiksaan: untuk mendapatkan pengakuan dan sebagai bentuk penghukuman. Korban umumnya berasal dari kelompok masyarakat ekonomi lemah yang minim pengetahuan hukum dan akses bantuan. Penyiksaan juga ditemukan dalam konteks konflik agraria dan pengamanan bisnis sumber daya alam. Tiga kasus dalam satu tahun terakhir terjadi di sektor ini, termasuk penyiksaan terhadap Nico Silalahi (19) dan lima anggota Komunitas Masyarakat Adat Sihaporas.
KontraS mendesak reformasi menyeluruh di tubuh aparat dan lembaga negara. Penggunaan teknologi seperti CCTV dan body cam dinilai perlu diterapkan secara konsisten guna meningkatkan akuntabilitas aparat. Momentum Hari Anti Penyiksaan harus dijadikan titik evaluasi bersama oleh lembaga negara agar ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan tidak menjadi formalitas belaka.
"Hal ini hendaknya menjadi refleksi dan evaluasi yang bermakna bagi seluruh lembaga negara untuk menihilkan praktik penyiksaan, supaya ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan bukan hanya sekadar coretan kertas kosong yang tidak berdampak apa-apa," pungkas Adinda Zahra.
KontraS juga menyoroti pentingnya kolaborasi antar lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, Komnas Perempuan, dan LPSK untuk memperkuat perlindungan dan pemulihan bagi para korban penyiksaan, khususnya di Sumatera Utara.
Editor : Ismail
Artikel Terkait