Diskusi Konservasi dan Bukber: Dari Bencana Ekologis, Perdagangan TSL, hingga Penegakan Hukum

Jafar Sembiring
Direktur Green Justice Indonesia, Panut Hadisiswoyo. Foto: Istimewa

"Beberapa orang memelihara satwa liar sebagai simbol status sosial, sementara industri hiburan dan pariwisata memanfaatkan satwa liar sebagai atraksi yang menarik bagi wisatawan," katanya.

Modus Perdagangan

Dijelaskan Indra, OIC mencatat banyak satwa liar yang diburu karena dianggap sebagai hama. Misalnya kasus orangutan sering dibunuh karena memasuki perkebunan sawit, gajah kehilangan habitat akibat alih fungsi lahan, dan harimau yang masuk ke permukiman kerap diburu untuk diambil bagian tubuhnya.

"Kita mendapati, perdagangan TSL ini menggunakan banyak modus seperti transaksi langsung, atau COD. jadi penjual dan pembeli ketemu langsung," katanya.

Kemudian, ada juga modus penggunaan media sosial Facebook dan WhatsApp. "Begitupun dalam hal pembayaran mereka menggunakan rekening bersama (rekber) sehingga sulit dilacak ini siapa pelaku yang terlibat," katanya. 

Metode Penyelundupan

Dalam hal transportasi TSL, para pelaku menggunakan banyak cara. Mulai dari bandara, pelabuhan dan jalur darat. Mereka juga mengelabui petugas dengan menyamarkan isi dalam paket yang dikirim. 

"Mereka juga menggunakan dokumen palsu untuk menyamarkan. Kita sudah lihat yang dulu satwa diangkut dengan pipa, kardus, kota dan lain sebagainya," katanya. 

Indra menambahkan, dalam hal penyimpanan TSL, pelaku menyembunyikan di tempat rahasia, misalnya gudang transit di dekat pelabuhan, jika akan dikirim ke luar negeri jalur laut. 

Menurut Indra, pada kasus TSL, masih ada tantangan lemahnya penegakan hukum. OIC mencatat masih banyaknya hukuman ringan untuk kasus besar. Hukuman paling tinggi adalah 4 tahun di Pengadilan   

Menurutnya, hukuman yang ditimpakan masih ringan dibandingkan kerugian nilai ekologis yang hilang. Data Ditjend Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan IPB pernah menghitung kerugian negara akibat perdagangan ilegal satwa liar periode 2016-2024 mencapat Rp 600 miliar untuk Sumatera Utara dan Aceh.

Sementara itu, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, M. Alinafiah Matondang mengatakan, pihaknya pernah menerima kuasa untuk menggugat perusahaan yang menjalankan kegiatan konservasi tanpa izin.

“Secara hukum, subjek hukum itu ada dua: individu dan badan hukum. Tapi dalam kajian waktu itu, satwa juga bisa diposisikan sebagai subjek hukum. Ini menjadi perkembangan menarik dalam hukum lingkungan,” ujarnya. 

Editor : Jafar Sembiring

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network