JAKARTA, iNewsMedan.id - Setelah skandal 'wine' halal yang mengguncang publik dan berujung pada pencabutan Sertifikat Halal di BPJPH, kini kasus serupa kembali mencuat. Masyarakat baru-baru ini mengunggah video yang menunjukkan beberapa produk pangan seperti 'tuyul', 'tuak', 'beer' dan 'wine' yang ternyata mendapat sertifikat halal dari BPJPH, hal ini jelas melanggar Fatwa MUI yang mengatur kriteria kehalalan produk.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, menekankan bahwa sesuai Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003, produk tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang mengarah pada kekufuran atau kemaksiatan.
"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan" jelas
Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh saat memimpin pertemuan yang dilaksanakan secara hybrid di Kantor MUI, Senin (30/9/2024) sore.
Lebih lanjut, Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 juga menekankan larangan penggunaan nama atau simbol yang berhubungan dengan benda atau hewan yang diharamkan, seperti alkohol, kecuali jika produk tersebut termasuk kategori tradisi dan sudah dipastikan bebas dari unsur haram.
Prof. Niam menyoroti pentingnya kehatian-hatian dalam proses sertifikasi, terutama melalui mekanisme self declare, dan bakal melakukan koordinasi dengan BPJPH untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
"Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an," tegas Niam yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda, menyatakan bahwa proses sertifikasi halal melalui self declare memiliki risiko tinggi. Pihak yang terlibat harus ekstra teliti dan mematuhi standar halal yang berlaku.
"Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal", ujarnya.
Direktur Halal Corner, Aishah Maharani, menambahkan bahwa sertifikasi halal tanpa audit dapat menghancurkan reputasi Indonesia di kancah global. Ia mengusulkan sistem sertifikasi halal yang lebih baik, termasuk adanya audit oleh auditor halal dan penggunaan manual SJPH dalam proses self declare.
"Namun jika tidak bisa, metode self declare sebaiknya dihapus saja, karena sudah nyata mudaratnya. Ini juga tidak sejalan dengan spirit penjaminan yang didahului dengan audit. Sebagai gantinya, dibuatkan sistem sertifikasi halal gratis dengan metode reguler dengan memberdayakan P3H sebagai pendamping usaha mikro sebelum pendaftaran sertifikasi halal, audit halal tetap dilakukan oleh auditor halal, bukan P3H," tegasnya.
Secara keseluruhan, Fatwa MUI mengingatkan kembali bahwa sertifikasi halal harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat. Jika tidak ada perbaikan dalam mekanisme yang ada, kemungkinan besar metode self declare perlu ditinjau ulang atau bahkan dihapus.
Adapun di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah:
a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;
b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:
1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan;
2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut;
3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum.
c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya;
d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama;
e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan;
f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait