Soal Masyarakat Adat Rempang, Abdon Nababan: Ruang Hidupnya Dilindungi Undang-Undang

Jafar
Tokoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan. (Foto: Istimewa)

MEDAN, iNewsMedan.id - Bentrok antara masyarakat adat Rempang dengan ribuan petugas kepolisian dan tentara di Batam, Kepulauan Riau (Kepri), menjadi perhatian dari berbagai pihak. Salah satunya, tokoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan

Abdon Nababan mengatakan, bentrok yang terjadi berawal dari protes masyarakat adat Rempang atas pengamanan eksekusi pematokan lahan masyarakat untuk kepentingan menarik investasi pembangunan Eco-city Rempang. 

Di mana, lanjut Abdon Nababan, puluhan warga Rempang dan petugas kepolisian luka-luka, dan harus dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu, anak-anak sekolah juga terkena semprotan gas air mata.

Hal itu ditegaskan Abdon Nababan bersama sejumlah aktivis gerakan lingkungan hidup saat ditemui di salah satu kafe di kawasan Medan Johor, Rabu (13/9/2023) malam. Ia juga mengaku prihatin atas peristiwa tersebut.

“Saya menyesalkan sikap dan tindakan BP Batam dan Pemerintah yang mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya. Hak konstitusional yang diabaikan itu berwujud hak asal usul atau hak tradisional yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 b (ayat 2) dan pasal 281 (ayat 3) UUD 1945,” ujar Abdon Nababan.

Abdon menambahkan, cukup banyak bukti-bukti sejarah yang meriwayatkan tentang 16 Kampung Tua di pulau Rempang dan Galang. Dan itu, sambung Abdon Nababan, sudah ada ratusan tahun sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan.

“Bukti-bukti sejarah ini semestinya menjadi pertimbangan utama bagi Negara untuk melindungi masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya dari segala macam upaya penggusuran atau relokasi yang mengatasnamakan kepentingan apa pun, apa lagi dengan pendekatan represif yang potesial menimbulkan korban”, jelas Abdon Nababan, yang juga calon DPD Sumatera Utara pada Pemilu 2024 mendatang.

Lebih lanjut Abdon Nababan menyatakan, isu penghormatan dan perlindungan masyarakat adat dan ruang hidupnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi perhatian penting dari siapa saja yang berhasrat menjadi bagian dari pengambil keputusan di negara ini.

Senada dengan itu, Rajidt Malley, aktivis gerakan lingkungan hidup yang bersama Abdon Nababan menyatakan, membangun proyek dengan investasi besar, melibatkan jumlah tenaga kerja banyak, potensial menggusur masyarakat, serta mengubah bentang alam yang luas, seperti pabrik kaca dan panel surya di Rempang, Kepulauan Riau, meniscayakan kajian ilmiah dan dialog intens para pemangku kepentingan. 

“Tak ada informasi memadai tentang ada-tidaknya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tentang rencana industri tersebut. Kok, tiba-tiba mau menggusur masyarakat adat Rempang yang diimbuhi bentrok pula,” ungkapnya.

Rajidt yang bergelar Datuk Mangguyang Alam, dan merupakan salah satu pemuka suku Melayu Minangkabau, mengingatkan Pemerintah harus berhati-hati menangani kasus Rempang. 

“Rempang merepresentasikan juga puak Melayu. Peristiwa Rempang bisa jadi isu penggusuran etnik Melayu dari tanah ulayatnya. Puak Melayu dimana pun akan berempati. Satu Hati, Satu Rasa. Takkan Melayu Hilang di Bumi, adalah tunjuk ajar orang Melayu bernada aporisme heroik untuk berjuang bersama!” pungkasnya.

Editor : Odi Siregar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network