Menabung Saham dengan Berinvestasi, Turut Melawan Laju Tekanan Inflasi

Isnaini Kharisma
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

MEDAN, iNewsMedan.id - Dewasa ini tidak bisa dipungkiri bahwa laju tekanan inflasi yang terjadi di banyak Negara memicu terjadinya gangguan ekonomi yang serta memunculkan pertambahan bagi pekerja yang di putus hubungan kerja (PHK).

Pasalnya, inflasi yang mulai terjadi menjelang penutupan tahun 2022 ini seiring dengan pembatasan aktifitas masyarakat yang berakhir memunculkan harapan adanya akselerasi pertumbuhan ekonomi meskipun belum diimbangi dengan pasokan yang memadai.

Sebab itu, inflasi pun datang dari tingginya permintaan atau demand, sementara pasokan masih tertinggal. Tensi geopolitik yang memanas pun memperburuk lonjakan inflasi, dan kian memperkeruh tensi geopolitik Negara lainnya, sehingga kembali lagi menciptakan lompatan kenaikan inflasi.

Dibanyak Negara maju, lonjakan inflasi diredam dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan pada dunia usaha dan tenaga kerja.

Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menuturkan, hal yang harus disadari oleh semua pihak adalah, bahwa inflasi yang tercipta terjadi bukan karena fenomena ekonomi, namun lebih karena kebijakan yang diambil seiring dengan meningkatnya tensi geopolitik.

Pada dasarnya solusi jitu untuk masalah tersebut adalah pendekatan politik, bukan dilakukan dengan pendekatan moneter yang justru banyak dilakukan Bank Sentral belakangan ini.

"Namun seakan seperti sudah putus asa, dan tidak memiliki opsi lain selain menaikkan bunga acuan, sekalipun inflasi yang terjadi diluar kendali Bank Sentral. Bagi Indonesia kenaikan bunga acuan yang dimotori oleh kenaikan The FED Fund Rate Bank Sentral di AS, seyogyanya tidak harus diikuti jika tidak memicu tekanan pada mata uang Rupiah," katanya di Medan, Rabu (30/11/2022).

Gunawan menjelaskan, karena Rupiah mengambil peran dalam pembentukan inflasi di tanah air, maka mau tidak mau arah kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan besaran bunga acuan seakan banyak dipicu oleh kenaikan bunga acuan di AS. Alasan utama menaikkan bunga acuan di banyak Negara termasuk Indonesia adalah guna meredam inflasi.

Padahal dengan memanasnya tensi geopolitik dan jika terus memburuk, inflasi justru kian menebar ancaman, dimana akan tetap naik tidak peduli sebesar bunga acuan dinaikkan.

Bagi Indonesia, selisih antara bunga acuan Bank Sentral AS dan BI Rate seakan menjadi penentu agar dana asing yang mengendap di pasar keuangan tidak pulang keasalnya, atau dikenal dengan istilah capital outflow.

Untuk menjaga agar capital outflow tidak terjadi yang memicu pelemahan Rupiah dan bisa menyulut kenaikan inflasi, pendekatan yang dilakukan adalah dengan membuat si pemilik dana tersebut betah simpan uang disini. Caranya dengan memberikan selisih bunga yang lebih tinggi. Namun rentetan masalahnya muncul pada gangguan dunia usaha di tanah air yang bisa menyulut PHK.

Dalam tatanan ekonomi dunia yang tengah bergejolak saat ini, tenaga kerja yang akan menjadi korbannya. Tenaga kerja saat ini mulai diliputi rasa takut untuk meminta kenaikan gaji, sementara pengusaha tidak berani menaikkan harga jual seiring tingginya inflasi, hingga ancaman resesi yang memukul daya beli. Pada dasarnya dunia tengah menciptakan nerakanya sendiri, dan belum terlihat kapan akan berakhir.

Guna meredam jumlah tingkatan pekerja yang masuk dalam kategori PHK, maka itu disarankan bagi setiap orang yang telah memiliki penghasilan, menabung merupakan salah satu cara yang paling tepat untuk mempersiapkan kebebasan finansial di masa mendatang.

Melalui menabung, setiap individu dapat memenuhi kebutuhan hidup secara cukup atau bahkan berlebih. Meski demikian, beberapa dari mereka hanya mempersiapkan dana untuk kebutuhan masa depan tanpa memperhatikan adanya variabel inflasi yang selalu ada di setiap tahunnya.

Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, harga menu makanan di restoran yang ada mall saat ini rata-rata sebesar Rp50.000. Jika tingkat inflasi tahunan adalah 10 persen, maka harga makanan yang sama di tahun mendatang adalah Rp55.000. 

Dua faktor yang mendorong terjadinya inflasi terdiri dari sisi permintaan (demand-pull inflation) dan sisi penawaran (cost-push inflation). Inflasi dari sisi permintaan dapat terjadi karena kenaikan populasi, peningkatan selera masyarakat, kenaikan pendapatan secara umum, faktor musiman, dan lain-lain. 

Sementara itu, faktor-faktor terjadinya inflasi dari sisi penawaran, yaitu depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), guncangan suplai akibat bencana alam, terganggunya distribusi barang, perang, dan lain-lain.

"Maka itu, dibutuhkan sebuah instrumen keuangan yang tepat dalam melawan inflasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari diri dari penyusutan nilai uang serta memberikan potensi keuntungan yang lebih tinggi. Instrumen tersebut dikenal dengan instrumen investasi," ujar Kepala Perwakilan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara, M Pintor Nasution secara terpisah.

Pintor menuturkan, terdapat beberapa pilihan produk investasi di pasar modal Indonesia. Berbagai produk seperti saham, obligasi, reksa dana, ETF, dan lain-lain, dapat diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Instrumen-instrumen investasi ini bahkan mampu memberikan potensi imbal hasil di atas persentase inflasi yang dihadapi dari tahun ke tahun.

Seperti yang diketahui, inflasi kebutuhan pokok setiap tahun berkisar pada 4-5 persen. Sementara barang seperti kendaraan, rumah, dan biaya sekolah serta biaya kesehatan seperti rumah sakit, meningkat di atas inflasi kebutuhan pokok yang bisa mencapai 10-15 persen per tahun. 

Angka perkiraan inflasi inilah yang menjadi patokan dalam memilih instrumen. Jadi, portofolio investasi akan disusun berdasarkan kebutuhan di masa depan dan jangka waktu dalam berinvestasi, yang tentunya tetap memperhitungkan risiko investasi masing-masing.

"Setiap instrumen yang memiliki potensi keuntungan yang besar, tentu memiliki potensi risiko. Semakin tinggi potensi keuntungan, semakin tinggi pula risiko kerugiannya. Namun, semakin panjang jangka waktu investasi, semakin kecil risiko yang didapatkan," ujarnya.

Menurut Pintor, hal ini karena siklus investasi pada umumnya akan terus bergerak naik dalam jangka waktu panjang, didukung oleh pemilihan instrumen yang diterbitkan perusahaan yang memiliki kinerja fundamental yang bagus. Meski demikian, dalam jangka pendek, setiap instrumen investasi juga berpeluang mengalami fluktuasi atau naik turun harga akibat berbagai faktor.  

Apalagi, dari sekian banyak jenis investasi, saham dinilai lebih aman karena berpotensi memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan obligasi atau deposito. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kinerja perusahaan memiliki probabilitas untuk tumbuh pada tingkat yang sama atau bahkan lebih tinggi dari inflasi.

"Namun, tidak semua perusahaan penerbit saham memiliki pertumbuhan kinerja yang positif. Oleh karena itu, setiap investor perlu melakukan analisis kinerja perusahaan yang akan dipilih untuk melakukan investasi dan paham bahwa instrumen saham hanya menjadi salah alternatif investasi untuk mempersiapkan kebutuhan atau menjaga gaya hidup di masa depan agar tetap sama atau bahkan lebih baik dari gaya hidup saat ini, dengan nilai uang yang terus meningkat," pungkasnya.

Editor : Odi Siregar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network