Kisah Tiga Pahlawan Wanita yang Gugur di Tangan Penjajah, Dua Berasal Dari Aceh

Tim Litbang MPI , MNC Portal
Cut Meutia (Foto : Ist)

JAKARTA, iNewsMedan.id- Kemerdekaan Indonesia turut diperjuangkan oleh kaum perempuan. Tak kalah dari laki-laki, wanita juga memiliki kontribusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mulai dari memajukan kaum perempuan dengan pendidikan, hingga mengerahkan tenaga untuk bertempur langsung melawan penjajah.

Dengan senjata seadanya, mereka tidak ragu-ragu membela tanah air di medan pertempuran.

Berikut merupakan pahlawan perempuan yang gugur di tangan penjajah.

1. Cut Meutia

Mutiara dari Aceh, Cut Meutia, merupakan perempuan berparas cantik yang sudah mempelajari ilmu pedang sedari kecil. Keahliannya dalam membuat strategi perang pun tidak main-main. Ia sering kali berhasil melumpuhkan pertahanan militer Belanda. Semasa hidupnya, Cut Meutia mengabdikan diri kepada tanah airnya. Hingga akhir dari napasnya pun ia habiskan di medan perang.

Cut Meutia menjalani pernikahan 3 kali. Pernikahan pertamanya gagal di tengah jalan lantaran suaminya, Teuku Syamsarif, cenderung tunduk terhadap Belanda. Hal tersebut melukai kecintaan Cut Meutia terhadap tanah air. Ketika menikah dengan Chik Muhammad, Cut Meutia pertama kali turun ke medan perang melawan Belanda. Kecintaan mereka berdua akan tanah air sama besarnya.

Chik Muhammad merupakan tokoh masyarakat yang beberapa kali memimpin pasukan untuk melawan Belanda. Sayang, suami kedua Cut Meutia ini tewas ditembak Belanda pada 1901. Sebelum wafat, Chik Muhammad menyampaikan pesan kepada sahabatnya, Pang Nanggroe, untuk menikahi Cut Meutia.

Cut Meutia lalu menikah dengan Pang Nanggroe. Keduanya terus mengadakan perlawanan kepada Belanda. Namun, nasib Pang Nanggroe tidak jauh dari sahabatnya.

Ia gugur di medan perang. Kehilangan suami tidak membuat Cut Meutia berhenti berjuang. Ia semakin bersemangat untuk melakukan perlawanan dengan hanya berbekal rencong sebagai senjata. Pada 24 Oktober 1910, persembunyian pasukan Cut Meutia ditemukan pasukan Belanda. Cut Meutia kemudian tewas di tangan penjajah Belanda. Ia tertembak tiga kali di bagian kepala dan dada. Atas perjuangannya tersebut, Cut Meutia diberikan gelar pahlawan nasional pada 1964.


2. Martha Christina Tiahahu

Sama seperti Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu sejak kecil sudah terbiasa dengan peperangan. Bersama dengan ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Tiahahu sering diajak dalam rapat pembentukan kubu-kubu pertahanan. Lalu ketika Martha Tiahahu berusia 17 tahun, ia sudah dipercayai untuk memimpin pasukan perang wanita dalam pertempuran melawan Belanda.

Pada tahun 1817, peperangan semakin panas lantaran tembakan pasukan rakyat berhasil mengenai leher Mayor Beetjes, salah satu pimpinan Belanda. Sejak itulah keluar perintah dari Vermeulen Kringer, pengganti Mayor Beetjes, untuk melakukan penyerangan terhadap pasukan rakyat. Akibat dari peristiwa tersebut, beberapa pasukan rakyat tertangkap, termasuk Martha Tiahahu dan ayahnya.

Kapitan Paulus Tiahahu dieksekusi mati pada 17 November 1817 setelah beberapa hari ditahan di Benteng Beverwijk. Sedangkan Martha Tiahahu dibawa ke Pulau Jawa untuk dijadikan pekerja paksa. Tidak terima bahwa ayahnya dieksekusi mati, Martha Tiahahu pun melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan menolak makanan dan obat yang diberikan. Ia meninggal pada 2 Januari 1818 dan jasadnya disemayamkan di Laut Banda.

3. Malahayati

Malahayati merupakan tokoh perempuan yang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Sebagai salah satu pejuang dari Aceh, Malahayati atau Keumalahayati dikenal atas keberaniannya dalam melawan armada angkatan laut Belanda dan Portugis.

Bahkan ia merupakan tokoh pejuang yang berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah satu tokoh besar Belanda yang pertama kali melihat adanya potensi perdagangan di Indonesia. Keberanian Malahayati tidak luput dari peran keluarganya yang merupakan kaum bangsawan.

Perjuangan Malahayati bermula setelah suaminya gugur dalam peperangan. Saat itu ia membentuk pasukan Inong Balee, yaitu pasukan yang berisi para janda yang suaminya gugur dalam peperangan. Meskipun pasukan ini terdiri dari perempuan, Inong Balee berhasil membangun benteng setinggi 100 meter.

Tidak hanya itu, pasukan ini juga memiliki pangkalan militer sendiri di Teluk Lamreh Krueng Jaya. Sayangnya perjuangan Malahayati harus berhenti di tahun 1606. Ia gugur dalam medan pertempuran saat melawan pasukan Portugis di Selat Malaka.

Editor : Ismail

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network