get app
inews
Aa Read Next : Pegadaian Sibolga MoU dengan Kejaksaan dalam Bidang Hukum Perdata dan Tata Usaha

Arbitrase, Penyelesaian Sengketa yang Seharusnya Final dan Mengikat

Selasa, 10 Mei 2022 | 17:45 WIB
header img
Ilustrasi hukum (Foto: Istimewa)

Berdasarkan penjelasan di atas, Penggunaan arbitrase dalam penyelesian sengketa tentunya memiliki banyak keunggulan daripada menggunakan penyelesaian sengketa secara konvensioal, dalam hal ini menggunakan pengadilan. Namun, hal ini kemudian menjadi problematika apabila telah masuk ke pelaksanaan putusannya. Pengaturan mengenai pelaksanan putusan arbitrase dalam UU 30 Tahun 1999 sendiri juga masih multitafsir dan terdapat kontradiksi antara pasal yang satu dengan lainnya. Putusan arbitrase yang katanya langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, namun kenyatannya putusan tersebut masih wajib untuk didaftarkan oleh Arbiter atau kuasanya ke Pengadilan Negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusannya diucapkan, yang artinya putusan arbitrase ini tidak memiliki daya paksa yang efektif, dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela. Lantas bagaimana jika putusan tersebut tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri? Pasal 59 ayat (4) UU 30 Tahun 1999 menyatakan jika tidak didaftarkan, maka putusan arbitrase tersebut menjadi tidak dapat dilaksanakan (non-executable). 

Pendaftaran putusan arbitrase merupakan kewenangan dari pihak Arbirter (atau kuasanya), sehingga jika Arbirter (atau kuasanya) lalai dalam melaksanakan tugasnya, maka yang dirugikan tentunya pihak yang sedang bersengketa, apalagi Arbirter tidak bisa dituntut atas pelaksanaan tugasnya dalam proses penyelesian sengeta melalui arbitrase. Dalam prakteknya, ada beberapa kasus dimana putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Penulis mengabil contoh pada putusan arbitrase bidang konstruksi pada pembangunan jalan dan jembatan di Provinsi Sulawesi Utara yang tidak eksekutorial karena kelalaian dari pihak Arbirter (atau kuasanya) dalam proses pendaftaran putusan. Dalam kasus tersebut, pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri telah melewati jangka waktu yang telah didtetapkan dalam UU 30 Tahun 1999 dan pendaftarannya juga tidak dilakukan pada Pengadilan Negeri yang tepat. Akibat kelalaian ini, putusan arbitrase tersebut menjadi tidak eksekutorial. Padahal biaya untuk berperkara di lembaga arbitrase tidaklah murah. Contohnya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), biaya arbitrase yang dikenakan sebesar 0,6% s/d. 10% dari nilai tuntutan yang diajukan dalam gugatan dan presntasi nilai tersebut akan berkurang dengan semakin besar nilai tuntutan yang diajukan dalam gugatan. Biaya arbitrase tersebut tentunya belum ditambah dengan PPN 10% dan biaya pendaftaran perkara sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Sungguh harga yang sangat mahal jika pada akhirnya putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. 

Pilihan penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase seyogianya sudah merupakan solusi yang tepat untuk penyelesian sengketa khususnya dalam dunia bisnis karena selain sifatnya yang tertutup sehingga menjaga kerahasian kedua belah pihak yang bersengeta, didukung oleh arbirter yang memutus dan memutus bersifat professional dengan latar belakang keilmuan yang sesuai, juga menjamin penyelesian sengketa yang lebih efesien. Namun, dengan adanya problematika tersebut di atas, perlu dikembalikan kepada niat awal para pihak pada saat menadatangani perjanjian penyelesian sengekta melalui forum arbitrase karena sifat penyelesain sengeketanya yang efesien, maka proses penyelesiaan sengketa melalui arbitrase ini mau tidak mau harus dikembalikan lagi pada prinsip dasar penyelesiaan sengketa diluar sistem peradilan yaitu prinsip itikad baik yang artinya dibutuhkan komitmen itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum arbirtrase ini sehingga putusan dapat dilakasanakan secara sukarela tanpa perlu menggunakan peradilan. Selain itu, UU No. 30 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum arbirtrase di Indonesia ini juga telah berumur 23 (dua puluh tiga) tahun, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap isi dari peraturan tersebut untuk menjamin kepastian hukum khususnya terhadap pelaksaan putusannya, karena kini pilihan penyelesian sengekta melalui arbitrase telah menjadi pilihan yang popular dan diminati oleh masyarakat. Peninjauan terhadap aturan ini menjadi penting karena pada dasarnya suatu peraturan yang baik harusnya responsif terhadap isu dan perkembangan didalam masyarakat.

(Iin Hidayah Nawir, SH. Analis Hukum, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)

Editor : Odi Siregar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut