Kecuali, sambung Sahat, ada suap yang dilakukan ketiga orang swasta tersebut kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dalam penerbitan izin ekspor.
"Kalau itu tentu bukan kesalahan koorporasi, bukan tanggung jawab CEO." kata Sahat.
Namun, Sahat melanjutkan, jika perbuatan melawan hukumnya ditemukan permufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam penerbitan izin ekspor ditambah lagi tidak mendistribusikan minyak goreng ke dalam negeri sebagaimana kewajiban dalam DMO, yaitu 20 persen dari total ekspor, tentu tanggung jawabnya ada pada CEO.
"Karena itu Jaksa Agung tak perlu gentar memanggil jajaran eksekutif Wilmar Internasional, Permata Hijau Grup dan Musim Mas karena perkara ini berdampak pada keresahan masyarakat luas bahkan unjuk rasa dimana - mana akibat kelangkaan minyak goreng. Kasus ini harus dibuka secara terang benderang kepada publik." ujar Sahat.
Sebelumnya Perhimpunan Pergerakan 98 mengkritik Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp 300 ribu dari pemerintah kepada kepada 20,5 juta keluarga dampak kenaikan harga minyak goreng. Organisasi mantan aktivis 98 itu menilai BLT minyak goreng tidak menyelesaikan masalah dan hanya menguntungkan perusahaan perkebunan sawit besar karena meraup keuntungan ganda dari kenaikan harga minyak goreng dalam negeri dan program Biodiesel atau Solar B20 dan B30 yang mengorbankan bahan baku minyak goreng dalam negeri.
Sahat mengatakan, kebijakan dua harga CPO menyebabkan turbulensi. Akibatnya, CPO tersedot untuk ekspor dan Biodiesel yang tidak dikenakan pajak. Hal itu, katanya mengorbankan pemenuhan minyak goreng dalam negeri.
"Ini lah akibatnya jika bahan pangan dalam hal ini minyak sawit dikorbankan menjadi produk minyak energi atau Biodiesel dengan dalih menghemat impor solar atau diesel. Kita setuju impor solar harus dikurangi namun jangan mengorbankan pemenuhan hak pangan murah untuk rakyat." kata Sahat.
Editor : Odi Siregar