Jual Beli Ghaib Terjadi di Sumut: IAW Curigai Alur Uang Fast Track Transaksi Notarial
MEDAN, iNewsMedan.id - Indonesian Audit Watch (IAW) kembali menyuarakan dugaan praktik memperjualbelikan tanah Eks PTPN II secara ilegal yang disebut telah menabrak regulasi agraria dan keuangan negara. IAW mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memberikan perhatian serius dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, mengungkapkan bahwa praktik ilegal ini dilakukan dengan berbagai modus, mulai dari kerja sama operasional (KSO) fiktif hingga transaksi notarial yang tidak transparan.
"Praktik ini menunjukkan adanya pelanggaran hukum sistemik dan konsisten sejak tahun 2008," katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/11/2025).
Iskandar membeberkan data berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan kuatnya pola penyimpangan pengelolaan aset negara di PTPN II:
1. LHP 2008 (No. 26/LHP/XVIII.MDN/12/2008)
Ditemukan 2.150 ha HGU dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum.
2. LHP 2016 (No. 18/LHP/XVIII.MDN/03/2016)
Penyewaan 1.500 ha tanpa izin, potensi kerugian Rp1,8 triliun.
3. LHP 2021 (No. 23/LHP/XVIII.MDN/06/2021)
Sebanyak 1.243 ha HGU aktif terbengkalai.
4. LHP 2023 (No. 07/LHP/XVIII.MDN/04/2023)
Pengalihan tanah ke pengembang tanpa tender, nilai potensi kerugian mencapai Rp3,4 triliun per tahun.
"Audit tersebut jelas, yakni terdapat pola sistematis penguasaan dan pengalihan tanah negara tanpa dasar hukum, dilakukan berulang oleh pengurus PTPN II dan pihak-pihak terafiliasi," ungkap Iskandar Sitorus.
Iskandar juga memaparkan contoh konkret transaksi yang dianggap janggal dan berpotensi melanggar hukum, seperti kasus jual beli Persil 53 di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis (3.650 m²).
Transaksi Pertama: PTPN II menjual tanah kepada seorang buruh tani berinisial HAD melalui Akta Pelepasan Hak No. 41 (21 Maret 2022) dengan harga Rp1.192.950.000. Pihak PTPN II diwakili oleh SS dengan dasar SK Gubernur Sumut No. 188.44/552/KPTS/2021.
Transaksi Kedua (37 Hari Kemudian): HAD menjual kembali tanah tersebut kepada warga berinisial RP menggunakan notaris dan saksi yang sama, dengan harga yang sedikit meningkat.
"Pertanyaannya sederhana, bagaimana mungkin seorang buruh tani memiliki dana sebesar itu untuk membeli tanah dari PTPN II? Transaksi secepat ini dengan notaris yang sama juga tidak wajar dan berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian hukum," kritik Iskandar, meminta Kejati Sumut menelusuri alur uang dan pajak dari transaksi tersebut.
IAW berharap Kejaksaan Agung, yang telah melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut, dapat segera menindaklanjuti. Iskandar juga menyoroti kasus lain di Bandar Klippa, Deliserdang, di mana Pemkab mengaku telah membayar tanah eks HGU seluas 3 hektare ke PTPN II, namun kini tanah tersebut dikuasai warga penggarap yang diindikasikan sebagai bentuk korupsi atas aset negara.
Menurut Iskandar, Kejati Sumut memiliki kapasitas penuh untuk menelusuri kasus-kasus ini. Ia juga mencatat bahwa Kejati Sumut berada dalam posisi strategis sebagai penegak hukum sekaligus bagian dari Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Sumatera Utara, menuntut Kejati untuk menjalankan peran ganda ini secara optimal demi menyelamatkan kerugian negara.
Editor : Jafar Sembiring