get app
inews
Aa Read Next : KIH Sumut Sebut Mangrove Punya Nilai Ekonomi bagi Masyarakat di Kawasan Pesisir

Inflasi dan Polemik Minyak Goreng di Awal Tahun, Pengamat : Bola Panas Ada di Pemerintah Saat Ini

Kamis, 03 Februari 2022 | 15:55 WIB
header img
Inflasi januari di Sumatera Utara (Sumut) melompat hingga mencapai 1,03 persen, melebihi rata-rata nasional sekaligus mengawali tahun baru 2022 dengan realisasi buruk. Jauh dari ekspektasi dari yang  sebelumnya. (Foto: Istimewa)

MEDAN, iNews.id - Inflasi januari di Sumatera Utara (Sumut) melompat hingga mencapai 1,03 persen, melebihi rata-rata nasional sekaligus mengawali tahun baru 2022 dengan realisasi buruk. Jauh dari ekspektasi dari yang  sebelumnya.

Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, tekanan inflasi terlihat seperti kurang terkendali. Dari beberapa kenaikan biaya hidup masyarakat, di antaranya kenaikan tersebut dikarenakan penyesuaian harga yang diatur pemerintah.

“Rokok kretek filter, harga bahan bakar rumah tangga, listrik dan air ini harga yang dikendalikan lewat kebijakan yang diambil. Sementara itu, kenaikan harga biaya hidup untuk kelompok rekreasi, atau pemeliharan rumah rutin hingga perawatan pribadi, ini menjadi indikasi kemungkinan adanya pemulihan daya beli,” kata Gunawan, Kamis (3/2).

Ataupun bisa juga dipicu oleh pelonggaran PPKM, atau masa liburan Nataru yang tidak dibarengi dengan pembatasan aktivitas masyarakat secara ketat. Sementara kenaikan harga pangan masyarakat seperti telur dan daging ayam, ikan segar, tomat, minyak goreng memiliki peluang turun di bulan ini.

Telur ayam dan daging ayam harganya saat ini turun dikisaran Rp 24 ribu dan Rp 32 ribu per Kg, dibandingkan Januari yang sempat naik Rp 27 ribu dan Rp 42 ribu per Kg-nya. Sementara ikan segar juga turun lebih dari 35 persen belakangan ini. Untuk cabai rawit juga rata-rata lebih murah, sementara cabai merah trennya sedikit mengalami kenaikan di harga Rp 23 ribuan per Kg. 

“Jadi pada dasarnya di Februari ini terlihat ada potensi Sumut deflasi,” sebut Gunawan.

Sementara itu, lanjutnya, harga minyak goreng yang dinanti-nanti turun sesuai dengan arahan pemerintah, sayangnya sampai saat ini masih terbilang mahal. Memang ada harga minyak goreng murah di sejumlah ritel modern, tetapi justru stoknya terbatas, tidak mampu memenuhi kebutuhan semua pembeli. 

“Masyarakat masih berebut untuk membeli minyak goreng,” ujarnya.

Gunawan menilai, implementasi kebijakan harga sesuai dengan arahan belum terlaksana sepenuhnya di lapangan. Di pasar tradisional, dan banyak pedagang lainnya, mereka khawatir menjual minyak goreng karena takut akan dirugikan. Karena sangat jelas sekali bentuk pemberitahuan sekaligus arahan dari pemerintah terkait harga minyak goreng tersebut, mulai dari Rp 11.500 hingga Rp 14 ribu per liternya.

Padahal, harga minyak goreng yang berlaku sesuai mekanisme pasar itu masih Rp 18 ribu hingga Rp 20 ribu per liternya. Jadi pedagang tidak berani menjual minyak goreng. Ini bisa memicu terjadinya kelangkaan minyak goreng itu sendiri. 

“Kalau saya menilai kebijakan menteri perdagangan itu baik bagi konsumen. Tetapi tahapan implementasi yang seperti sekarang ini justru membuat masyarakat bingung,” ujarnya.

Disampaikan Gunawan, pedagang mengeluh karena mereka juga dirugikan akibat konsumen mencari minyak goreng seperti arahan pemerintah. Menurutnya, kisruh ini imbas dari implementasi kebijakan yang belum merata dirasakan masyarakat. Kalau kebijakan ini mau tetap dilanjutkan, maka subsidi harus matang di level produsen minyak goreng.

Bukan di level distributor, pedagang besar atau di ritel modernnya. Karena akan tetap muncul harga minyak goreng dengan varian harga yang berbeda. Dan bisa memicu spekulan. Kebijakan DMO/DPO pemerintah ini sebenarnya bisa membuat harga minyak goreng seragam di level produsen. 

“Tapi yang namanya resitensi dari pengusaha atau petani sawit akan bermunculan. Kalau kebijakan subsidi ini tetap dilanjutkan, harapannya adalah agar segera harga minyak goreng sesuai dengan arahan pemerintah. Kalau kebijakan ini dibatalkan, ini terkait dengan marwah si pembuat kebijakan. Jadi bola panasnya ada di pemerintah saat ini,” terangnya.

Editor : Odi Siregar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut