BELAKANGAN INI, publik dihebohkan oleh berita terkait sejumlah individu yang terlibat dalam praktik politik dinasti di Indonesia, di mana anggota keluarga seperti suami, anak, menantu, atau paman turut serta dalam kepentingan politik. Pertanyaan muncul, apa sebenarnya politik dinasti, dan apa faktor-faktor awal terbentuknya dinasti politik? Dan sudahkah ada regulasi yang mengatur hal ini di Indonesia?
Dalam pandangan sederhana, politik dapat diartikan sebagai cara untuk memastikan bahwa individu, kelompok, atau masyarakat mengikuti aturan atau keputusan yang telah ditetapkan. Secara logika, politik dapat memberikan keuntungan bagi sebagian pihak karena melibatkan keterlibatan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga. Namun, realitasnya, politik seharusnya memberikan keuntungan bagi seluruh masyarakat, karena kebijakan yang diatur oleh lembaga tersebut seharusnya telah mempertimbangkan kesejahteraan seluruh rakyat.
Tantangan muncul ketika lembaga-lembaga tersebut diduduki oleh sekelompok individu yang memiliki hubungan keluarga, seperti ayah yang menjabat sebagai Presiden dan anaknya yang menjadi Walikota. Apakah hal ini juga dapat dianggap sebagai politik dinasti? Meskipun tidak termasuk dalam jenis politik konvensional, hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai contoh dari dinasti politik, seperti yang terlihat pada Dinasti Pak Jokowi di Indonesia saat ini. Dinasti politik tidak hanya terbatas pada tingkat presiden dan walikota, namun juga telah merambah ke Dinasti Pak Soekarno yang masih berlanjut hingga ke ketua fraksi PDI Perjuangan dan Ketua DPR RI. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dinasti politik?
Dinasti politik dapat didefinisikan sebagai bentuk kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga.
Dinasti politik lebih menggambarkan konsep kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun, sering kali identik dengan sistem monarki. Namun, dalam konteks politik demokratis Indonesia, dinasti politik tidak selalu melibatkan pewarisan langsung kepada keturunan. Indonesia ada prinsip demokrasi, keputusan akhir tetap berada di tangan rakyat, meskipun dinasti politik bisa memanfaatkan dukungan dari kekuasaan yang dipegang oleh keluarga mereka.
Tren politik kekerabatan telah lama menjadi bagian tradisional dalam sistem patrimonial, di mana regenerasi politik lebih didasarkan pada jalur keturunan daripada pada merit system atau sistem manajemen sumber daya manusia yang adil. Konsep neopatrimonial menunjukkan bahwa meskipun unsur patrimonial masih ada, strategi baru telah diterapkan, di mana pewarisan kekuasaan tidak lagi ditunjuk secara langsung, melainkan melalui jalur politik prosedural, terutama dengan melibatkan anggota keluarga dalam institusi politik seperti partai politik.
Proses pergantian kepemimpinan sering kali menjadi pertarungan politik yang menyerap energi dan melibatkan berbagai ideologi. Pada pergantian kepemimpinan, pertarungan tidak hanya terbatas pada individu yang akan memimpin suatu organisasi, tetapi juga melibatkan pertempuran ideologi. Kekuatan pertarungan ini adalah memicu keterlibatan para pendahulu organisasi, yang mungkin mencari cara untuk melanggengkan kekuasaan atau menguji sisa intervensi yang dimiliki, atau bahkan sebagai cara untuk menguji benang keturunan.
Model politik dinasti di Indonesia, menurut Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, dapat dibagi menjadi tiga, yaitu model arisan, dinasti politik lintas kamar, dan model lintas daerah. Model arisan melibatkan kekuasaan yang hanya terfokus pada satu keluarga dan berlangsung secara regenerasi. Model dinasti politik lintas kamar melibatkan cabang kekuasaan di berbagai tingkat, seperti kakak yang menjadi bupati, adik yang menjadi ketua DPRD, dan anggota keluarga lainnya yang menduduki posisi strategis. Model lintas daerah menunjukkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh satu keluarga. Meskipun dinasti politik dapat muncul dalam berbagai masyarakat, baik demokratis maupun monarki, namun manipulasi oleh elit lokal dapat menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Elit lokal dapat menggunakan akses mereka pada lembaga-lembaga pusat dan memanfaatkan konstituen lokal untuk memperkuat dan mempertahankan hubungan patron-klien daerah.
Dalam adaptasinya terhadap prosedur demokrasi, politik dinasti cenderung membatasi peluang pihak lain untuk melakukan regenerasi dan kaderisasi. Mereka membangun mekanisme yang terstruktur, meskipun hakekatnya tidak selaras dengan substansi demokrasi. Analisis modern menunjukkan bahwa kemunculan politik dinasti dapat disebabkan oleh kemandulan demokrasi, yang pada gilirannya menghasilkan otonomi yang berlebihan dan munculnya kekuasaan etnis di daerah. Etnisitas ini mendorong pertumbuhan dinasti politik, sementara etika politik rendah, karena kaderisasi partai politik tidak berjalan dengan baik. Otonomi yang berlebihan ini menciptakan kekuasaan etnis di daerah melalui peran politisi partai.
Keironisan dari gagahnya etnisitas dalam otonomi daerah harus menjadi wadah aktualisasi potensi lokal, namun mereka harus melahirkan penguasa baru yang tidak kalah eksploratif dengan sistem sentralistik. Harusnya, masyarakat di suatu daerah memberikan sajian demokrasi yang bersih dan bermartabat. Ketergantungan organisasi partai pada figur pemimpin, lebih dari kinerja keseluruhan sebagai instrumen.
Artikel ini dibuat oleh Muhammad Bangun Siregar, Sri Annisa dan Putri Khalijah Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Dengan dosen pengampu Prof. Dr. Elisabet Siahaan SE. M. Ec.
Editor : Odi Siregar