Pilpres 2024 merupakan yang ke-5 pasca reformasi. Reformasi telah memasuki usia yang ke-25, seperempat abad telah berlalu. Akan tetapi, tuntutan reformasi sepertinya masih jauh panggang dari api. Konsolidasi demokrasi tidak berjalan dengan baik. Pilar demokrasi sibuk dengan agenda masing- masing, sehingga tujuan utama reformasi semakin kabur.
Alasan utama reformasi bukan sekedar menumbangkan orde baru dibawah rezim Soeharto. Agenda utamanya adalah menjawab keenam tuntutan reformasi, yakni: pertama, penegakan supremasi hukum; kedua, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ; ketiga, pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan; keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Sebagai capres yang terlibat dalam peristiwa reformasi, Ganjar Pranowo tentu harus mengambil tanggung jawab menuntaskan tuntutan reformasi. Maka syaratnya, Ganjar Pranowo harus menjadi diri sendiri, bebas dari pengaruh siapapun, dan merdeka berpikir.
"Ganjar Pranowo harus mampu menyamakan dan menyatukan kepentingan Parpol dan kebutuhan rakyat. Sebagai Parpol yang menjadi pelaku, saksi, sekaligus korban orde baru, tentunya PPP dan PDIP juga bertanggung jawab untuk menuntaskan tuntutan reformasi," sebut dia.
Semua Parpol di seluruh dunia ini, termasuk di Indonesia pasti menjadikan kader yang ditugaskan di legislatif dan eksekutif sebagai petugas partai. Tentunya bukan hanya PDIP, bahkan partai yang tidak ikut Pemilu juga demikian.
Namun penggunaan istilah itu di ruang publik disambut negatif, karena Parpol kehilangan kepercayaan publik. Karena tidak ada kegentingan yang memaksa, maka penggunaan istilah petugas partai seharusnya dapat digunakan pada kegiatan yang bersifat internal. "Tidak akan ada penambahan suara yang signifikan untuk Ganjar Pranowo jika disebut sebagai petugas partai secara terbuka di ruang publik," pungkas Sutrisno.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait