Masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 memiliki tanggungjawab berpartisipasi melakukan pengawasan partisipatif pada setiap tahapan perhelatan pemilu, salah satunya adalah masalah Daftar Pemilih, Kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. Dalam pemilu, masalah yang kerap terjadi pada kesenjangan antara aturan main dengan tuntutan demokrasi yang makin meluas merupakan hal yang menjadi tuntutan utama dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Melalui pelaksanaan pemilu menjadi hal yang sangat strategis dalam penerapannya. Dengan demikian dalam pelaksanaannya harus jelas parameternya agar pelaksanaan demokrasi benar-benar menjadi saluran yang maksimal dalam memajukan, mencerdaskan, dan memperkuat integrasi bangsa indonesia. Untuk mencapai pelaksanaan pemilu langsung merupakan masalah yang kompleks karena terkait dengan kepercayaan masyarakat yang harus dibangun. Terjadi paradoks antara pelaksanaan pemilu yang telah dipersiapkan dengan biaya yang sangat besar namun tidak sesuai dengan apa yang diperoleh. Belum lagi partai politik sebagai peserta pemilu yang berubah pada tiap pemmilu. Sebagai ilustrasi pada sebuah pesta yang dilaksanakan tidak sesuai antara yang hadir dengan undangan yang didata atau yang diundang, sehingga dapat dikatakan pesta yang dilaksanakan gagal karena tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Semua orang pasti tahu bahwa yang namanya pemilu di Indonesia pasti terjadi “pertarungan” antara calon anggota legislative dari internal partai politik dan calon anggota legislatife antar partai politik . Karena didalamnya ada pertarungan para calon yang ingin menang dalam proses demokrasi dengan cara apapun. Misalnya mereka sudah menyiapkan perangkat cost politik untuk bersosialisasi di kelompok-kelompok masyarakat. Minimal ia sudah menyiapkan uang “ngopi” untuk duduk bersama tokoh masyarakat tersebut. Itu biasa terjadi karena budayanya orang yang diajak silaturahmi tidak mungkin ia yang membayar minuman yang telah disajikan. Ada juga calon demi meraih simpati pemilih melakukan kegiatan yang tidak biasa ia lakukan, menjadi lebih sering mengunjungi fasilitas sosial, memberikan bantuan materi dengan berbagai bentuk. Suka tidak suka ada juga kelompok masyarakat yang memanfaatkan situasi ini dengan berdalih membantu mensosialisasikan calon tersebut, karena mereka menganggap ini adalah kesempatan yang jarang dating dan tidak akan datang dua kali.
Merupakan hal yang lumrah juga terjadi disaat para calon mulai memetak kan suaranya ke kelompok ibu-ibu perwiritan. Biasanya mereka mulai memberikan bantuan seikhlas hati dalam bentuk barang, jilbab dan uang kepada peserta arisan. Itulah tradisinya ketika calon mulai memberanikan diri masuk dalam kelompok-kelompok masyarakat. Semua dilakukan agar mendapatkan pujian dan sanjungan dari ketua ibu perwiritan. Sambil calon menitipkan kartu nama dan identitas nomor urut partai. Sebagai rakyat kecil mereka kelompok ibu perwiritan tersebut tidak begitu mengerti, bahwa itulah cara masuk para calon mulai menguras uang pribadinya untuk menjadi calon pemimpin. Baik pemimpin legislative maupun eksekutif. Alhasil uang yang diberikan dalam bentuk barang tersebut adalah risywah (sogokan) untuk mendapatkan imbalan agar dipilih nantinya. Yang ada di benak masyarakat bahwa Apakah salah jika ada orang yang memberikan sebuah kebaikan kepada kami lalu diberi imbalan suara dengan memilihnya, apalagi hal ini terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki budaya “ingot-ingot” yang sangat kuat, yaitu ingatlah kebaikan orang yang telah diberikan kepadanya.
Ini yang sering terjadi sehingga masyarakat sebagai pemegang hak mutlak telah termakan “budi” dan tidak merdeka dalam menentukan pilihannya yang telah lari dari tujuan pemilu itu sendiri. Calon juga merasa tidak memiliki tanggungjawab lagi terhadap konsituen yang memilihnya , merasa telah “membeli” hak mutlak yang diamanahkan oleh UUD 1945 serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh negara ini. Pemilu merupakan alat ataupun cara masyarakat sebuah Negara dalam memilih perwakilannya baik di legislatif dan eksekutif. Masyarakat sebagai objek demokrasi memiliki peranan penting dalam menentukan arah pembangunan sebuah negara, karena masyarakat yang akan merasasakan pembangunan yang dihasilkan dari sebuah proses demokrasi. Tidak jarang kita melihat pada sebuah masyarakat secara personal dan komunitas tersandera oleh kepentingan politik calon, memerankan diri menjadi bagian dari proses perjuangan calon untuk meraih kekuasaannya, sehingga meninggalkan peranan masyarakat sebagai “community control” pada kebijakan pemerintah. Selain sebagai control, masyarakat merupakan pemegang hak mutlak dalam proses demokrasi. Dalam penyelenggaraan proses demokrasi di Indonesia saat ini partisipasi Masyarakat dalam pengawasan proses pemilu sangat besar sekali. Tidak jarang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tersebut diketahui dan melibatkan masyarakat pada umumnya.
Peranan Pengawas Pemilu Partisipatif
Sebagai lembaga negara, Bawaslu sebagai pengawas pemilu diberi mandat oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan Pemilu secara formal mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat secara bersama melakukan pengawasan Pemilu. Sebagai lembaga formal juga, pengawas pemilu berkewajiban menghantarkan proses pemilu yang berkeadilan, bermartabat, berkualitas dan bersih dari praktik-praktik yang mencederai kemurnian hasil pemilu. Dalam melakukan pengawasannya, dalam proses penegakan keadilan pemilu pengawas kerap terbentur dengan alat bukti dan saksi terhadap pelanggaran pemilu yang terjadi pada tahapan-tahapan dan masa tenang pemilu. Keingingan masyarakat untuk melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi, memberikan alat bukti dan siap bersaksi kerap menjadi kendala di lapangan. Sehingga pengawas pemilu dalam melakukan proses penegakan hukum pada Sentra Gakumdu kerap sekali kandas karena kurangnya materi yang dijadikan sebagai alat bukti.
Untuk itu suka atau tidak suka pengawas pemilu sejak dini harus mulai berfikir kreatif bagaimana caranya masyarakat digugah baik secara perseorangan atau kelompok untuk mau dan siap menjadi mitra pengawas pemilu yang berani melaporkan setiap pelanggaran pemilu dan menjadi saksi di setiap proses penegakan hukum yang ada. Melalui program kegiatan sosialisasi pengawas partisipatif yang dilakukan oleh Bawaslu di berbagai awaktu dan tempat dengan demikian masyarakat perlu “disadarkan” sesungguhnya proses demokrasi yang dilakukan melalui pemilu berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari segi ekonomi, politik, agama, sosial dan budaya. Peraturan penyelenggaraan pemilu harus dibuat selengkap dan sedetail mungkin untuk menghindari adanya permasalahan-permasalahan yang dapat mengganggu proses penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya, masyarakat juga diharapkan untuk mersepon segala kejadian yang ada di lingkungannya, karena sumber daya manusia yang dimiliki oleh Bawaslu sangat terbatas, hanya tiga orang di setiap kecamatan dan satu orang di setiap kelurahan.
Peraturan pelaksanaan Pemilu harus di buat lebih substansi agar mengarah pada pencapaian tujuan bernegara melalui pelaksanaan demokrasi yang mendukung integrasi bangsa indonesia. Kepercayaan masyarakat harus dibangun melalui penyelenggaraan pemilu sebagai suatu kebijakan strategis dalam proses pencapaian tujuan negara. Modal sosial sangat menentukan terhadap program yang mengharuskan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan penerapan aturan yang substansi sangat ditentukan kualitas dari manajemen penyelenggara pemilu yang tanggap terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Tanpa respon yang baik dan cepat dalam mendukung substansi dari aturan yang ada dapat menimbulkan masalah sosial yang sangat merugikan baik secara materil maupun nonmateril. Pengambilan keputusan yang cepat dan tepat merupakan bentuk tanggungjawab yang harus ditunjukkan, tidak hanya berdasarkan pressure dari masyarakat yang belum tentu memiliki alasan yang kuat untuk menjalankannya. Selanjutnya, kesediaan masyarakat berpartisipasi dalam melakukan pengawasan partisipatif dengan bersedia menjadi “Informan” jika melihat, mendengar atau mengetahui pelanggaran yang terjadi dan bersedia melaporkannya kepada pengawas pemilu yang ada di wilayah nya.
Oleh: Muhammad Taufiqurrohman Munthe, SP
Anggota Bawaslu Kota Medan
Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia, Orgranisasi dan Diklat
Editor : Chris
Artikel Terkait