DELISERDANG, iNewsMedan.id - Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkar Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) untuk seluruhnya dan pada salah satu amarnya menyatakan bahwa menghukum tergugat (Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia KPU RI ) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun menimbulkan gejolak.
Salah seorang deklarator Partai Gerindra Kabupaten Deliserdang Muhammad Dahnil Ginting, berpendapat bahwa putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda pelaksanaan Pemilu Tahun 2024 adalah keliru.
"Pasalnya, penundaan Pemilu akan memiliki dampak luas dan berakibat pada pelaksaan Pemilu yang telah ditetapkan KPU," katanya, Minggu (5/3/2023).
Hal tersebut dikatakan Ginting, menanggapi kekisruhan akibat Putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Disebutkan Dahnil Ginting, sengketa antara Partai Prima dan KPU merupakan jenis sengketa contentiosa.
"Di mana, antara kedua pihak yang berperkara, putusannya hanya berlaku dan mengikat pada para pihak yang berperkara saja. Hal ini menunjukkan bahwa seyogianya dalam perkara tersebut hakim tidak memiliki wewenang menjatuhkan putusan yang berdampak terhadap pelaksanaan Pemilu yang bukan hanya berhubungan dengan para pihak saja, melainkan dengan dengan seluruh warga negera Republik Indonesia," ucap Dahnil.
Menurut Dahnil Ginting, UU Dasar 1945 juga menjelaskan bahwa pemilihan umum wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Lebih lanjut dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya terdapat dua istilah dalam penundaan Pemilu yaitu Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan sebagaimana tertuang dalam Pasal 431 dan 433 UU Pemilu.
"Hal ini menunjukkan bahwa UU Pemilu tidak memberikan ruang sama sekali untuk menunda Pemilu secara nasional. Terhadap Putusan tersebut, sudah seharusnya KPU mengambil langkah yang tepat dengan melakukan perlawanan hukum melalui pengajuan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi sampai dengan kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap/ inkracht," jelasnya.
Melalui upaya hukum ini, kata Dahnil Ginting, diharapkan nantinya hakim tinggi dapat memeriksa ulang fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yang sudah diajukan sebelumnya (judex factie) ataupun hakim agung yang dapat memeriksa penerapan hukum terhadap fakta yang sudah diputusakan pengadilan tingkat pertama dan banding (judex jurist).
Ia menambahkan, meski hakim pada dasarnya memang memiliki independensi dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara, namun, dalam menjatuhkan putusannya tersebut hakim tidak boleh melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Untuk itu, selain melakukan perlawanan melalui upaya hukum, saya sarankan KPU juga dapat melakukan perlawanan hukum lainnya dengan melaporkan Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut jika terdapat dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim kepada komisi yudisial atau KY," terangnya.
Jika memang terhadap putusan tersebut diduga terdapat kekeliruan Majelis Hakim dalam membuat keputusan. "Maka KPU dapat menjadikan poin tersebut sebagai dasar untuk melaporkan Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut kepada KY atas dugaan adanya pelanggaran kode etik," tandas Dahnil.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait