MEDAN, iNewsMedan.id - Kisah Hasjim Ning yang mendapat julukan Henry Ford nya Indonesia hingga populer di media barat menarik untuk diketahui.
Asal-usul julukan itu bermula dari terbosan baru yang diambil oleh Presiden Soekarno untuk mewujudkan kemandirian ekonomi Indonesia. Di mana, didirikanlah persero perakitan mobil negara yang diberi nama Indonesian Service Company (ISC).
Untuk bergerak, ISC mendapat kucuran kredit dari Bank Negara Indonesia (BNI) yang kala itu Margono Djojohadikusumo sebagai presiden direkturnya.
Dengan modal pinjaman bank negara yang sekaligus menjadi penyerta modal, ISC memilih Dodge untuk sedan dan truk, serta Willys untuk jip, sebagai mobil yang akan dirakit. Pilihan tersebut untuk memenuhi kepentingan pemerintah, sipil, dan militer.
Sebagai lokasi pabrik perakitan mobil, dipilihlah wilayah Tanjung Priok, Jakarta, di mana sebuah gudang besar telah disewa. Namun belum lama berjalan timbul tekanan politik di mana jabatan Presiden Direktur ISC yang dipegang Tan Goan Po, harus diganti. Nama yang terpilih sebagai pengganti adalah Hasjim Ning, pemilik usaha Jakarta Motor Service yang bergerak di bidang perbengkelan.
Keinginan menempatkan Hasjim Ning sebagai pimpinan ISC disampaikan langsung oleh Margono Djojohadikusumo. "Tanpa banyak basa-basi Margono langsung saja menyampaikan rencananya," tulis AA. Navis dalam buku Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasjim Ning (1986).
Hasjim Ning terlahir dengan nama Masagoes Noer Moechammad Hasjim Ning 22 Agustus 1916 di Nipah, Padang, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Ismail Ning dan ibunya Umi Salamah. Nama Ning di belakang namanya diambil dari nama kakeknya, Haji Ning, seorang saudagar kaya raya Padang di masanya.
Secara kekerabatan, Hasjim Ning terhitung masih kerabat Bung Hatta yang sama-sama orang Minang. Kakek Hasjim Ning merupakan ayah tiri Bung Hatta, karena telah menikahi Saleha, ibunda Bung Hatta.
Hasjim merantau ke Jakarta, mulai tahun 1937. Pada revolusi kemerdekaan tahun 1945, ia turut mengangkat senjata, berjuang untuk republik. Pangkat terakhirnya saat pensiun dari tentara adalah letnan kolonel.
Hasjim Ning yang sejak kecil mendapat pendidikan (sekolah) dan mengaji secara ketat, belajar ilmu ekonomi dari Bung Hatta. Dari Bung Hatta juga Hasjim bisa kenal dekat dengan Bung Karno dan Sutan Sjahrir. Bahkan ketika di Jakarta, Hasjim Ning sempat menempati paviliun di mana rumah besarnya (induk) menjadi tempat tinggal Sutan Sjahrir.
Pada Agustus tahun 1951 itu, Hasjim Ning tidak segera mengiyakan permintaan Margono Djojohadikusumo yang menginginkan dirinya menjabat Presiden Direktur ISC. Bahkan Hasjim menolak dengan alasan telah memiliki usaha sendiri. Dengan bahasa Belanda ia mengatakan: Ik denk veel beter als een kleine baas dan een grote knecht (Aku kira lebih baik jadi tuan kecil dari pada kuli besar).
"Tapi di ISC jij (kamu) akan menjadi een grote baas, bukan een kleine knecht," jawab Margono Djojohadikusumo. Hasjim Ning bergeming. Ia kukuh dengan sikapnya. Ia mengatakan, sudah senang dengan usahanya sendiri di mana dirinya optimis bisnis itu bakal berkembang besar.
"Ya itu ide yang baik. Justru itulah yang menyebabkan aku memilih jij (kamu)," kata Margono Djojohadikusumo yang berusaha keras melobi. Karena gagal melunakkan hati Hasjim Ning, Margono menemui Bung Hatta untuk meminta bantuan. Jika Bung Hatta yang meminta, Margono berharap Hasjim akan bersedia.
Lantas apa jawaban Bung Hatta?. "Kalau saudara memilih Hasjim karena ia keponakanku, aku tidak setuju," kata Bung Hatta dikutip dari Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasjim Ning.
Dalam percakapan itu, Margono mampu merasionalkan alasannya di mana Bung Hatta akhirnya memanggil Hasjim Ning. Bung Hatta mengatakan mendukung tawaran Margono dan ia berharap Hasjim Ning bisa membantunya. Hasjim Ning tak kuasa menolak.
Ia pegang erat pesan Bung Hatta yang mengatakan ISC bukan usaha pribadinya, melainkan milik negara di mana amanah negara harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. "Pakailah prinsip kakek Hasjim dalam berusaha. Harta orang jangan dimakan, harta Hasjim jangan diambil orang," pesan Bung Hatta.
Pada 1 Oktober 1951, Hasjim Ning resmi menjabat sebagai Presiden Direktur ISC, perusahaan perakitan mobil pertama di Indonesia. Perakitan atau assembling plant merupakan langkah awal. Berikutnya bangsa Indonesia diharapkan bisa memiliki pabrik mobil sendiri.
Berbagai kendala coba diatasi Hasjim Ning, terutama tekanan politik. Hal itu mengingat ada dua perusahaan milik orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia), yakni NV Putera dan Zoro Coporation yang ikut memiliki saham di ISC. Sementara saat itu isu politik anti PSI lagi panas-panasnya.
Serangan politik anti PSI banyak datang dari kelompok PNI. ISC dicurigai berpotensi membantu dana pemilihan umum untuk PSI. Hasjim Ning meredam serangan dengan cara mendatangkan Bung Karno ke pabrik perakitan ISC di Tanjung Priok.
Bung Karno diajaknya makan siang. Saat melihat-lihat komponen mobil yang dirakit, Hasjim menjelaskan kepada Bung Karno keuntungan yang didapat negara. "Dengan sistem perakitan mobil oleh ISC itu, devisa negara akan dapat dihemat sampai 25 % bila dibandingkan dengan pengimporan mobil," kata Hasjim Ning kepada Bung Karno.
Sebagai presiden, Bung Karno menyambut positif termasuk menyatakan siap membantu mengatasi kesulitan yang ada. Di depan Hasjim, Bung Karno mengatakan ISC jangan hanya terampil merakit buatan Amerika, tapi ke depannya juga harus mampu membuat mobil sendiri bertipe nasional. ISC harus bisa menjadi kebanggaan nasional.
Hasjim Ning saat mendampingi Bung Karno meninjau Indonesian Service Company (ISC), pabrik perakitan mobil pertama di Indonesia. (Foto: Istimewa)
Untuk meningkatkan performa perusahaan, dalam perjalanannya ISC mengupgrade skill para pegawainya. Sejumlah tenaga tekhnisi dikirim ke Amerika. Inggris dan Filipina untuk belajar. Pada tahun 1952, ISC mendapat tawaran kerjasama dari pabrik mobil Amerika-Inggris, yakni Ford-Dagenham. Pabrik ini yang memproduksi sedan Ford tipe Zodiac, Sephys Six, Consul, dan Perfect.
Di luar itu ISC juga masih merakit Willys dan Dodge. Karena bangsal kerja di Tanjung Priok tidak cukup, perusahaan kemudian berpindah ke wilayah Jalan Lodan yang lebih luas sekaligus memadai. Pada tahun 1954 Hasjim Ning menandatangani kontrak pinjaman 2,6 juta dollar Amerika dengan Development Loan Fund.
Penandatanganan pinjaman berlangsung di Washington yang juga dihadiri duta besar Indonesia Dr Mukarto. Pinjaman merupakan kredit lunak yang dibayar rupiah dengan jangka waktu 10 tahun. Uang pinjaman dipakai modal belanja komponen mobil, seperti per, sasis, velg, dan utamanya bodi jip.
Sebagai pimpinan perusahaan dari negara yang belum lama merdeka dan berdaulat, nama Hasjim Ning seketika populer. Media New York Times menurunkan laporannya di halaman pertama. Begitu juga koran-koran terbitan London, juga membuat laporan dengan menjulukinya Henry Ford Indonesia.
"Dan lainnya menyebut aku sebagai Raja Mobil," kata Hasjim Ning seperti dikutip dari Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasjim Ning. Hasjim Ning yang sepanjang hidupnya lebih dikenal sebagai konglomerat Indonesia meninggal dunia pada 26 Desember 1995 di RS Medistra Jakarta.
Artikel ini telah terbit di halaman SINDOnews.com dengan judul Kisah Hasjim Ning, Raja Mobil Indonesia Berdarah Minang Keponakan Bung Hatta
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait