JAKARTA - Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesingh mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi di negaranya menuju kebangkrutan akibat kehabisan uang untuk membayar makanan dan BBM.
Kekurangan uang tunai untuk membayar impor kebutuhan tersebut dan kegagalan membayar utang sebelumnya, membuat Sri Lanka mencari bantuan dari negara-negara tetangganya seperti India dan China dan serta IMF.
Para Ekonom menilai krisis berawal dari faktor domestik, seperti salah urus (mismanagement) selama bertahun-tahun dan korupsi. Sebagian besar kemarahan publik dipusatkan pada Presiden Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, mantan perdana menteri Mahinda Rajapaksa.
Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri Mei lalu setelah demonstrasi anti-pemerintah selama berminggu-minggu yang akhirnya bergulir menjadi aksi kekerasan. Demikian dilansir dari VOA Indonesia, Senin (11/7/2022).
Beberapa tahun terakhir situasi ini semakin memburuk. Bom bunuh diri di gereja dan hotel saat perayaan Paskah tahun 2019 menewaskan lebih dari 260 orang. Insiden ini menghancurkan pariwisata, yang merupakan sumber utama devisa.
Melonjaknya utang luar negeri untuk proyek infrastruktur besar membuat pemerintah berupaya meningkatkan pendapatannya. Salah satunya dengan mendorong pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka.
Pemotongan pajak ini baru diubah setelah kreditur menurunkan peringkat Sri Lanka, yang menghalangi negara ini untuk meminjam lebih banyak urang karena merosotnya cadangan devisa. Pandemi juga membuat dunia pariwisata Sri Lanka merosot.
Pada April 2021, Rajapaksa secara tiba-tiba melarang impor pupuk kimia. Dorongan untuk pertanian organik mengejutkan para petani dan menghancurkan tanaman padi, yang menjadi tanaman pokok di Sri Langka. Harga-harga kebutuhan pun mulai melonjak. Untuk menghemat devisa, impor barang lain yang dianggap sebagai barang mewah juga dilarang.
Perang Rusia di Ukraina sejak Februari 2022 mendorong harga pangan dan BBM lebih tinggi lagi.
Kementerian Keuangan Sri Lanka mengatakan negara itu hanya memiliki cadangan devisa yang dapat digunakan sebesar 25 juta dolar. Hal ini membuat negara itu tidak memiliki kemampuan untuk membayar impor, apalagi membayar miliaran utang.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait