Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah sektor ekonomi nasional yang paling strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga menjadi tulang punggung perekonomian Nasional. Pertumbuhan UMKM ditengah tren pasar bebas saat ini mengakibatkan sengketa bisnis menjadi salah satu konsekuensi hukum yang tidak dapat dihindarkan begitu juga Penyebaran virus Corona Virus Desease (Covid-19) secara global serta masuknya pandemi ke Indonesia memberi pengaruh yang signifikan pada tatanan kehidupan manusia termasuk terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah. Permasalahan pelaku usaha di masa pandemi ini juga mengakibatkan perselisihan yang terjadi antara pelaku UMKM dengan pelaku bisnis lainnya. Perjalanan usaha tidak mungkin tanpa kendala dan tantangan. Ketika bisnis masih dalam tataran usaha kecil, masalah yang dihadapi berkaitan tentang merk, produksi, izin produksi, dan pemasaran sengketa dengan pemodal, hutang piutang dan timbulnya perbuatan melawan hukum karena pelanggaran atau ingkar janji atas hubungan hukum yang telah disepakati bersama. Sengketa bisnis yang terjadi pada UMKM pada umumnya merupakan bentuk sengketa perdata yang dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi (diluar pengadilan) dan jalur litigasi (melalui pengadilan). Opsi Penyelesaian masalah hukum tersebut membuka peluang UMKM menggunakan beragam forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi atau arbitrase. Hakikat penyelesaian sengketa melalui pertemuan para pihak sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia. Bahkan pengadilan sudah mengharuskan penyelesaian sengketa lewat mediasi terlebih dahulu sebelum gugatan disampaikan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
APS sebagai pilihan hukum dan Perlindungan bagi UMKM
Tantangan hukum dalam memayungi aktifitas perekonomian UMKM berada pada tarik ulur antara penyusunan hukum yang ideal tapi dapat memenuhi fungsinya sebagai social control dan social engineering.( Teori Lon Fuller).
Bentuk bentuk perlindungan hukum yang mengatur perekonomian dapat ditemukan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dijabarkan dalam hierarki perundang-undangan yang ada. Poros utama perundang-undangannya ada pada Pembukaan UUD tahun 1945 alinea 4, UUD 1945 Pasal 33 dan 34 ayat (1), dan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM. UUD 1945 Pasal 33 dan 34 ayat (1) mengatur tentang Perekonomian Nasional dan pasal 34 tentang Kesejahteraan Sosial (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2014). Sengketa bisnis yang terjadi pada UMKM dan industry kecil pada umumnya merupakan bentuk sengketa perdata yang dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi (diluar pengadilan) dan jalur litigasi (melalui pengadilan). Masih Banyak pelaku bisnis menempuh melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri dan mengajukan permohonan Kepailitan dan PKPU apabila terdapat hutang yang telah jatuh tempo. Gugatan perdata melalui Pengadilan cukup memakan waktu lama karena putusan di tingkat Pengadilan Negeri masih bisa diajukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan proses peradilan yang lama dan berjenjang tersebut membuat para pelaku bisnis harusnya mampu membuat putusan yang tepat dalam menentukan pilihan hokum yang ada. Menempuh jalur non litigasi melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah opsi yang disarankan. Penyelesaian sengketa melalui APS telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pelaku bisnis UMKM dapat menggunakan forum alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Bentuk proses penyelesaian lewat forum di luar pengadilan (out of court settlement) bisa lebih cepat dan memberikan kenyamanan bagi kedua belah pihak. Dalam forum alternatif penyelesaian sengketa selalu terbuka ruang bagi para pihak untuk bermusyawarah dan mendapatkan solusi terbaik. Dan Para pelaku usaha tidak perlu kuatir karena Putusan Arbitrase adalah sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dapat langsung dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (sesuai Pasal 60 jo 62, UU 30/1999) dan secara eksplisit menetapkan bahwa arbitrase memiliki kewenangan mutlak terhadap kewenangan Peradilan Umum sesuai Pasal 3 UU 30/ 1999 yang berbunyi “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang memiliki klausula Arbitrase”.
Perlukah Badan Arbitrase Khusus UMKM dibentuk??
Saat ini terdapat beberapa badan arbitrase yang memiliki fokus pada bidang penyelesaiannya masing-masing, seperti Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal) dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia) dan lain sebagainya. Dalam UU 20/2008 tentang UMKM tidak mengatur atau memberikan informasi mengenai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Untuk itu, peran negara dalam melindungi UMKM untuk menghadapi pasar bebas harus didasari pada upaya yang konsisten untuk menjadikan kelompok ini sebagai usaha yang tangguh, hal ini bertujuan agar komoditi yang dihasilkannya akan berpeluang untuk secara aktif diperdagangkan di pasar domestik yang kompetitif.Agar hal tersebut terwujud maka untuk membantu UMKM dalam menjalankan roda perekonomian, khususnya dalam hal penyelesaian sengketa hukum maka dapat dibentuk lembaga atau badan arbitrase yang fokus dalam hal penyelesaian sengketa antara pelaku usaha UMKM. Pada umumnya yang diketahui oleh para pelaku bisnis, khususnya pelaku UMKM dimana segala bentuk sengketa akan berakhir di kepolisian ataupun di pengadilan sehingga menyebabkan konflik yang lebih lama diantara para pihak.
Badan arbitrase khusus UMKM perlu dibentuk dan fokus pada penyelesaian sengketa antara pelaku usaha UMKM. Dimana bentuk dan kriteria UMKM yang dapat berperkara tetap merujuk pada parameter yang ditentukan dalam UU 20/2008. Tentunya badan arbitrase khusus UMKM beroperasi dan bertindak berasaskan kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan arbitrase khusus UMKM di atas sejalan dengan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas. demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan urgensi di atas, badan arbitrase khusus UMKM perlu didirikan sebagai tempat penyelesaian sengketa perdata di bidang bisnis UMKM. Dimana badan arbitrase ini tetap memberikan pilihan alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam UU 30/1999 (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase). Sifat putusannya yang tertutup membuat kerahasiaan dari perkara yang berjalan tetap terjaga sehingga menyelesaikan permasalahan tetap mengedepankan hubungan baik diantara para pihak yang bersengketa, Arbitrase juga sebagai pilihan terbaik bagi para pelaku UMKM yang mengedepankan efesiensi waktu, hal ini dianggap solusi terbaik karena sifat dasar putusan arbitrase final dan mengikat kecuali ada masalah cacat prosedur atau perbuatan melawan hukum seperti penyuapan, tipu muslihat dan pemalsuan (sesuai Pasal 70 UU 30/1999) yang tidak membuka peluang upaya hukum lanjutan.
Oleh : Harry Ismaryadi, SH (Jafung Pengelola PBJ Ahli Pertama Kementerian PUPR)
Editor : Odi Siregar