JAKARTA, iNews.id - Unjuk rasa serentak dari berbagai organisasi mahasiswa seluruh Indonesia ke istana negara bakal diikuti ribuan orang, pada 11 April 2022 mendatang. Hal itu lantaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap tidak juga menyampaikan pernyataan yang menolak untuk maju lagi dalam Pemilu 2024.
Sebelumnya Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengatakan, unjuk rasa tetap pada 6 tuntutan yang sudah pernah disampaikan saat aksi 28 Maret 2022 lalu. Selain itu, mahasiswa meminta Jokowi bersikap tegas soal wacana penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan 3 periode. Menurut pihaknya, wacana itu sangat jelas mengkhianati konstitusi negara.
Unjuk rasa 11 April 2022, mendapat dukungan moral dari berbagai kalangan. Salah satunya dari aktivis 98. Menurut Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang, unjuk rasa mahasiswa itu patut didukung sepanjang untuk mengkritik pemerintah." Karenanya kami ingatkan polisi jangan represif kepada mahasiswa karena aksi mahasiswa khususnya BEM SI bukan aksi menggulingkan pemerintahan. Mahasiswa juga sudah membantah hal itu," kata Sahat, Sabtu (9/4/2022).
Sahat menilai, hal yang wajar jika mahasiswa melakukan unjuk rasa ke istana tempat Jokowi berada. Di mana, akumulasi kekecewaan disebabkan harga minyak goreng mahal, pupuk subsidi kepada petani hilang, solar hilang secara misterius dan lain - lain. Sementara, beberapa menteri sibuk menggalang dukungan tunda Pemilu dan presiden 3 periode.
"Jadi kalau ada yang ngomong kenapa unjuk rasanya ke Jokowi bukan ke menteri yang sibuk menggalang dukungan tunda Pemilu dan presiden 3 periode, ya biarkan saja. Silahkan saja dia yang unjuk rasa ke kantor atau kerumah dinas menteri tersebut," kata eks Direktorat Relawan Tim Kampanye Jokowi - Ma'ruf Amin ini.
Walaupun Jokowi sudah menegur menterinya agar tidak bicara mengenai penundaan Pemilu, sambung jurnalis Tempo ini, tapi publik terlanjur kecewa melihat manuver para menteri ditengah harga minyak goreng yang mencekik leher rakyat. Selain itu, Jokowi juga dianggap tidak tegas menyudahi perdebatan usulan penundaan Pemilu dan presiden 3 periode.
"Jadi jangan dibolak - balik seolah - olah yang menggoreng isu penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden hingga amendemen masa jabatan presiden jadi 3 periode adalah rakyat. Semua wacana atau isu itu datang dari ketua umum parpol pendukung pemerintah dan para menteri, rakyat hanya merespons dengan sikap masing - masing," ujarnya.
Saat ini, Sahat menilai, rakyat berada di tengah pertarungan antara demokrasi dan oligarki. Yang dipertaruhkan, kata dia, adalah seperti apa anak dan cucu kita kedepan dalam hal kebebasan dan persamaan hak dalam segala hal. Jika karena ingin meneruskan kekuasaan yang tanpa batas seperti masa Orde Baru, maka pemegang kekuasaan partai dan oligarki akan membuat keputusan merubah atau mengamandeman masa jabatan presiden yang sejak era reformasi dibatasi hanya 2 periode.
"Dan jika hal itu terjadi, demokrasi melalui jalan Pemilu dan Pilpres langsung akan terancam jika amandamen UUD 1945 berhasil dilakukan. Nasib Indonesia akan seperti Rusia yang dipimpin oligarki. Mereka tidak terlihat diktator, bahkan terlihat akrab dengan rakyatnya, tapi sesuguhnya negara dipimpin oleh seorang presiden boneka yang dikendalikan sekelompok pengusaha yang sedang berkuasa. Ini lebih berbahaya dibanding kepemimpinan absolut Orde Baru," ujar Sahat.
Editor : Odi Siregar