Demosi Kompol DK Bukti Pelanggaran, Kuasa Hukum Tuding Polda Sumut Inkonsisten
MEDAN, iNewsMedan.id - Tim kuasa hukum Rahmadi menuding penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumatera Utara (Sumut) tidak netral saat menangani laporan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Kompol Dedi Kurniawan (DK). Mereka menilai penyidik gagal menjaga profesionalisme dan cenderung membenarkan kekerasan oleh aparat.
"Penyidik seharusnya berdiri di tengah, bukan menjadi pembela pelanggaran hukum," ujar Ronald M. Siahaan, salah satu kuasa hukum Rahmadi, seusai gelar perkara di Polda Sumut, Senin (10/11/2025).
Ronald menyebut tindakan Kompol DK saat penangkapan di Tanjungbalai pada 3 Maret 2025 melanggar Prosedur Operasi Standar (SOP) dan prinsip hak asasi manusia, sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Nomor 8 Tahun 2009.
Tim kuasa hukum semakin geram karena penyidik disebut sempat melabeli kekerasan itu sebagai hal yang 'wajar'.
"Begitu kekerasan dianggap lumrah, negara hukum sedang dikorbankan," jelas Ronald.
Mereka juga menuding adanya upaya menutup-nutupi pelanggaran. Tuduhan ini didasarkan pada fakta bahwa Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Sumut telah menjatuhkan sanksi demosi selama tiga tahun kepada Kompol DK.
"Kalau tidak ada pelanggaran, kenapa ada sanksi? Ini bukti inkonsistensi internal Polda Sumut," kata Thomas Tarigan, anggota tim hukum.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum mendesak Kapolda Sumut untuk mengevaluasi penyidik yang menangani perkara ini. Mereka juga berencana melaporkan kasus ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Markas Besar (Mabes) Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan pihak terkait lainnya.
Di sisi lain, Hans Silalahi, kuasa hukum Kompol DK, bersikukuh bahwa kliennya tidak bersalah.
"Semua sesuai SOP. Mereka sudah dua kali kalah praperadilan," katanya.
Ketika ditanya mengenai sanksi demosi, Hans menjawab singkat, "Biasa itu," sembari menambahkan bahwa pihaknya telah mengajukan banding atas putusan Bidpropam.
Menurut tim Rahmadi, sikap tersebut justru mempertegas budaya membenarkan kekerasan di tubuh kepolisian.
Kasus Rahmadi bermula saat ia ditangkap oleh tim Ditresnarkoba Polda Sumut di Tanjungbalai atas dugaan kepemilikan narkotika. Rahmadi kemudian divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai pada 30 Oktober 2025.
Namun, sehari sebelum putusan pengadilan tersebut, Bidpropam telah menyatakan Kompol DK bersalah dan menjatuhkan sanksi demosi.
"Dua putusan berbeda dalam satu perkara. Satu dihukum, satu dibenarkan. Di situlah absurditas penegakan hukum kita," tutup Ronald.
Selain dugaan penganiayaan, keluarga Rahmadi juga menemukan saldo rekening Rahmadi berkurang sebesar Rp11,2 juta selama proses hukum, sebuah dugaan penyalahgunaan akses rekening yang belum direspons oleh penyidik.
Editor : Jafar Sembiring