Catat! USU Tidak Butuh Pedagang Gosip

Oleh : Haris Martondi Hasibuan S.Sos (Pengamat Sosial)
iNewsMedan.id- Universitas seharusnya menjadi menara ilmu, tempat kebenaran dijaga dengan kejernihan. Namun, apa yang kita saksikan hari ini di Universitas Sumatera Utara justru menggores hati. Ruang akademik yang mestinya dipenuhi perdebatan gagasan, kini tercemar riuh serangan personal. Kampus yang seharusnya menjadi mercusuar intelektual, perlahan digiring ke jurang gosip dan intrik.
Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, kita justru menyaksikan bagaimana isu-isu remeh dan bisik-bisik murahan menggantikan percakapan substansial. Perdebatan tentang arah keilmuan, penguatan riset, atau kontribusi nyata bagi masyarakat tergeser oleh narasi manipulatif yang miskin gagasan. Mereka yang tak sabar beradu visi, memilih jalan pintas: menebar keraguan, merusak reputasi, dan mengubah kampus menjadi arena perebutan pengaruh.
John Rawls pernah menegaskan: keadilan tidak lahir dari suara paling nyaring, tetapi dari prosedur yang adil. Namun di lingkungan akademik, kita justru melihat bagaimana sebagian orang meninggalkan asas fairness demi keuntungan sesaat. Antonio Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni lahir dari penguasaan narasi. Ironisnya, narasi yang kini beredar di kampus bukanlah kebenaran, melainkan propaganda yang merendahkan martabat universitas.
Apakah kita rela membiarkan ruang ilmu ini dipimpin oleh mereka yang mengandalkan serangan personal alih-alih kekuatan gagasan? Apakah kita akan membiarkan sejarah mencatat bahwa senat, para penjaga martabat ilmu, representasi fakultas dan guru besar, justru bungkam saat marwah akademik dipermainkan?
Fakta berbicara lain. Dalam beberapa tahun terakhir, universitas ini tidak berjalan di tempat. Tata kelola diperkuat, transparansi ditingkatkan, posisi USU menanjak di peta nasional. Pencapaian itu lahir bukan dari retorika kosong, melainkan dari kepemimpinan yang tetap tenang di tengah badai. Pemimpin sejati diuji bukan ketika langit cerah, melainkan ketika hujan kritik dan intrik mengguyur, dan ia tetap berdiri.
Mereka yang menyerang personal sesungguhnya sedang memperlihatkan kelemahan gagasan. Tidak mampu meyakinkan lewat visi, mereka mencari celah di gosip. Tidak sanggup menandingi rekam jejak, mereka memilih jalan pintas: menggerogoti reputasi. Tapi, apakah universitas boleh dipimpin oleh logika murahan semacam itu?
Simone Weil pernah menulis: integritas adalah cahaya yang tetap menyala di dunia yang memilih gelap. Maka ujian kita sebagai komunitas akademik hari ini adalah: apakah kita ikut tenggelam dalam kegelapan fitnah, atau menjaga cahaya dengan berpihak pada keadilan dan akal sehat?
USU akan dikenang bukan karena megahnya gedung, bukan pula karena ramainya intrik, tetapi karena pilihan moral komunitasnya. Senat memikul tanggung jawab sejarah. Jika mereka membiarkan gosip mengalahkan gagasan, mereka sedang menandatangani runtuhnya marwah intelektual. Namun, jika mereka berdiri di atas nilai, menolak fitnah, dan memilih kepemimpinan yang teruji, mereka tengah menulis babak baru: bahwa universitas ini masih rumah ilmu, bukan arena pasar gelap ambisi.
Sejarah tidak pernah mengampuni mereka yang menukar integritas dengan intrik. Dan hari ini, sejarah sedang mengetuk pintu kita.
Editor : Ismail