get app
inews
Aa Text
Read Next : Ilmuwan Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba

Bakteri Semakin Kebal, Pakar Peringatkan Ancaman Kematian Massal Akibat Antibiotik Sembarangan

Jum'at, 27 Juni 2025 | 20:27 WIB
header img
dr Harry Parathon (pegang mikrofon) duduk sejajar bersama narasumber lainnya saat memaparkan ancaman resistensi antimikroba dalam Seminar Jurnalisme Sains untuk Mitigasi AMR di Medan. Ia mengingatkan penggunaan antibiotik tanpa resep bisa memicu kematian.

MEDAN, iNewsMedan.id – Resistensi antimikroba (AMR) kini menjadi salah satu ancaman paling serius bagi kesehatan manusia dan hewan. Jika tidak dikendalikan, kondisi ini diperkirakan akan menewaskan lebih banyak orang dibandingkan kanker pada tahun 2050. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat, baik di sektor medis maupun peternakan.

“Ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, maka ke depannya bakteri ini akan menjadi kebal dan tidak akan mati oleh antibiotik. Ini adalah ancaman nyata dalam dunia kesehatan,” kata dr Harry Parathon dalam Seminar Jurnalisme Sains untuk Mitigasi Resistensi Antimikroba (AMR) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bersama World Organisation for Animal Health (WOAH) di Medan beberapa waktu lalu.

Harry menjelaskan, antibiotik memang berfungsi membunuh bakteri penyebab infeksi, namun tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Sayangnya, pemahaman ini belum tersebar luas di masyarakat. “Tidak semua penanganan medis ataupun penyembuhan penyakit harus menggunakan antibiotik. Dan jika harus menggunakannya, maka dokter yang meresepkannya sesuai takaran agar tepat sasaran,” tegasnya.

Ia mengungkapkan, penggunaan antibiotik secara sembarangan tanpa resep menjadi pemicu utama resistensi. “Dari hasil penelitian di Indonesia, tingkat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masih sangat tinggi. Termasuk pada penyakit yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotik. Ini yang perlu keterlibatan dari semua pihak untuk menyadarkan masyarakat,” kata Harry. Dampaknya bukan hanya pada kualitas hidup pasien, tetapi juga pada biaya dan risiko kematian. “Audit nasional menunjukkan bahwa 77 persen resep antibiotik di Indonesia tidak sesuai dengan pedoman. Resistensi terhadap bakteri seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae semakin tinggi. Pasien jadi menghabiskan biaya lebih besar dan punya risiko kematian lebih tinggi,” ujarnya.

Guillaume Maltaverne dari World Organisation for Animal Health (WOAH) menyebut AMR sebagai “pandemi senyap” yang berpotensi lebih mematikan dibanding kanker. “AMR adalah pandemi senyap. Jika tidak ditangani serius, diperkirakan akan menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan kanker pada 2050,” ujarnya dalam paparan. Menurut Guillaume, komunikasi risiko harus menjadi bagian utama dari strategi mitigasi AMR. Edukasi publik tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kesehatan, tapi juga harus melibatkan berbagai sektor lain seperti peternakan, lingkungan, dan media.

Sektor peternakan, terutama unggas dan ikan budidaya, juga menjadi salah satu penyumbang tingginya konsumsi antibiotik. Drh Liys Desmayanti dari Direktorat Kesehatan Hewan mengungkapkan, sejumlah kebijakan telah diterapkan pemerintah untuk membatasi penggunaan antibiotik di sektor ini. “Penggunaan antimikroba di sektor ini masih tinggi, terutama pada unggas dan ikan budidaya. Kami sudah melarang penggunaan growth promoter (AGP) dan colistin,” kata Liys. Ia menjelaskan bahwa pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) hingga 2029. Salah satu target utamanya adalah penerapan Antimicrobial Stewardship (AMS) di 70 persen peternakan unggas komersial di Indonesia.

Ancaman AMR juga merambah ke lingkungan. Surveilans yang dilakukan pada air limbah rumah sakit menunjukkan keberadaan bakteri resisten seperti ESBL-producing E. coli dan CRPA. Yang mengkhawatirkan, peneliti menemukan strain bakteri yang identik pada pasien dan air sungai yang mengalir di sekitar rumah sakit. Ini menandakan bahwa transmisi dari fasilitas kesehatan ke lingkungan sudah terjadi.

Communication Officer ReAct Asia Pasifik, Vida A Parady, menyampaikan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang mencatat sebanyak 133.800 kematian di Indonesia pada 2019 terkait dengan AMR.

“Yang mengkhawatirkan, 41 persen penggunaan antibiotik terjadi tanpa resep dokter,” tegas Vida. Secara global, AMR disebut menyebabkan hampir 5 juta kematian pada 2019—angka ini tiga kali lipat lebih besar dari kematian akibat diabetes atau kanker paru-paru. Selain mengancam kesehatan manusia, AMR juga berdampak pada keamanan pangan dan penghidupan masyarakat, khususnya peternak dan nelayan.

Ketua AJI Medan, Tonggo Simangunsong, dalam paparannya mengajak jurnalis untuk menjadikan isu sains, termasuk resistensi antimikroba, sebagai bagian dari liputan utama. “Memang ada tantangan. Karena liputan sains memerlukan data dan narasumber yang banyak. Peliputannya tidak sekadar straight news tapi lebih mendalam,” ujar Tonggo. Ia menambahkan bahwa pengalaman saat pandemi COVID-19 menjadi pelajaran penting.

“Awalnya kita hanya menerima informasi dari satu pintu. Dari situ kita belajar, bahwa jurnalis harus mampu masuk ke isu-isu sains agar bisa menjelaskan masalah kesehatan secara komprehensif.”

Pelatihan ini diikuti puluhan jurnalis dari berbagai media di Sumatera Utara dan menghadirkan pembicara dari WHO, WOAH, Kementerian Pertanian, serta akademisi dan praktisi kesehatan.

Editor : Ismail

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut