Dulu Ikut Bekerja, Kini Sri Kurniati Miliki Bisnis Bordir Sendiri

MEDAN, iNewsMedan.id - Di sebuah rumah sederhana di Jalan Ikhlas, kawasan Bromo Ujung, suara mesin bordir terdengar berirama dengungannya khas, seolah menjadi napas dari ruang produksi yang tak pernah benar-benar sepi. Di sudut ruangan, kain-kain berbagai warna tergulung rapi, sementara benang-benang mengilap tertata dalam kotak-kotak plastik, siap disulap menjadi desain yang anggun.
Di tengah aktivitas itu, Sri Kurniati (58) duduk tekun, tangannya lincah memeriksa hasil bordiran sambil sesekali memberi arahan lembut kepada anak perempuannya yang kini ikut membantunya. Meski sudah berumah tangga, sang anak tetap meluangkan waktu membantu produksi, menjadi kekuatan tambahan bagi sang ibu yang terus setia menjalankan Grand Bordir, usaha bordir dan konveksi yang telah menjadi lebih dari sekadar mata pencaharian. Ia adalah warisan semangat, simbol ketekunan, dan bukti bahwa tangan perempuan bisa menjahit masa depan dengan benangnya sendiri.
Perjalanan panjang Sri di dunia bordir dimulai jauh sebelum nama Grand Bordir dikenal pelanggan. Tahun 2004 menjadi titik awal, saat ia mulai ikut dalam usaha keluarga yang juga bergerak di bidang bordir pakaian. Ia tidak langsung duduk di belakang meja atau hanya memberi perintah, justru sebaliknya. Sri benar-benar memulai dari nol. Setiap hari ia bersentuhan langsung dengan mesin bordir, mempelajari cara kerjanya, bagaimana merawatnya, hingga bagaimana mengatasi kerusakan kecil. Ia juga mencermati selera pasar, memahami pola pesanan pelanggan, dan mengasah insting bisnisnya dari pengalaman lapangan.
Sepuluh tahun bergelut di balik layar usaha keluarga itu menjadikannya bukan sekadar tahu cara bordir bekerja, tetapi juga memahami denyut hidup dari sebuah usaha konveksi kecil. Semua pengalaman itu ia simpan sebagai bekal. Dan pada tahun 2014, dengan keberanian yang dikumpulkan perlahan, Sri akhirnya memutuskan untuk membuka usaha sendiri, usaha yang sepenuhnya lahir dari tangannya sendiri, bernama Grand Bordir.
“Dulu waktu ambil mesin pertama dari Batam, saya sampai ke sana langsung bareng teknisinya, Karena modal pas-pasan, mesin itu sempat saya sewakan dulu beberapa bulan sambil kumpulin dana buat mulai jalanin usaha sendiri.” jelasnya saat ditemui tim iNewsMedan.id di tempat usahanya pada Selasa (29/4/2025).
Awal Grand Bordir tidak mulus-mulus saja. Ia sempat mencoba menggandeng seorang teman untuk membangun usaha bersama, namun kerja sama itu hanya bertahan satu tahun. Akhirnya, Sri memilih kembali ke lingkaran terdekat, keluarga. Suaminya ikut membantu operasional, dan anak-anaknya, terutama salah satu yang belajar khusus desain digital, mulai ikut terlibat dalam produksi bordir komputer.
“Anak saya saya suruh kursus dulu, jadi waktu dia bantu di sini udah ngerti alurnya. Sekarang malah dia yang pegang desain,” kata Sri sambil tersenyum.
Selama enam tahun, Grand Bordir tumbuh dan bertahan di sebuah ruko kecil di ujung Jalan Ikhlas. Ruangannya sederhana, tapi penuh dengan denyut kerja keras dan semangat pantang menyerah. Di sana, Sri Kurniati membangun ritme usahanya hari demi hari. Permintaan datang silih berganti, dari seragam perusahaan BUMN dan swasta, hingga pesanan dari pabrik, kampus, dan sekolah-sekolah.
"Tumpukan kain datang hampir tanpa jeda, dan mesin bordir nyaris tak pernah berhenti berkerja waktu itu," ungkapnya.
Hari-hari panjang sering kali berujung malam, bahkan dini hari, demi menyelesaikan pesanan yang terus mengalir masuk. Melihat beban kerja yang semakin padat, Sri memutuskan menambah satu unit mesin bordir lagi untuk mengejar efisiensi. Tak hanya itu, demi memperluas jangkauan dan menjangkau lebih banyak pelanggan, ia menyewa satu lapak di Pusat Industri Kecil (PIK) Menteng selama tiga tahun. Di sana, Grand Bordir ikut bersaing dengan puluhan pelaku usaha lain, dan tetap bertahan dengan kualitas dan ketepatan waktu sebagai nilai jual utama.
Namun, tahun 2021 menjadi babak paling sunyi dalam perjalanan Grand Bordir. Di tahun itulah Sri kehilangan sosok yang selama ini menjadi sandaran dan rekan seperjuangan dalam membesarkan usaha, sang suami, yang selalu setia mendampingi dari balik layar produksi hingga pengantaran pesanan. Kepergiannya bukan hanya menyisakan duka, tapi juga ruang kosong dalam ritme kerja yang dulu begitu akrab mereka jalani bersama.
Sri masih ingat bagaimana suaminya dengan sabar mengangkat tumpukan kain, memeriksa hasil bordiran, atau sekadar menyeduh teh hangat untuk teman lembur malam. Kini, semua beban itu harus ia tanggung sendiri.
“Sekarang semua dibantu sama anak-anak,” ujarnya pelan, tatapannya menerawang sejenak ke mesin bordir yang terus berputar. “Tapi jujur, saya harus lebih ekstra mantau semuanya sendiri.”
Sejak saat itu, Sri mulai membatasi pesanan. Ia tak lagi mengejar kuantitas seperti dulu, melainkan lebih selektif agar kualitas tetap terjaga dan tidak memforsir dirinya sendiri. Meski begitu, Grand Bordir tak pernah benar-benar berhenti. Sampai hari ini, mereka masih aktif menerima berbagai jenis pesanan, dari bordir komputer, konveksi kemeja, bendera dan pataka, hingga perlengkapan wisuda. Harga yang ditawarkan pun fleksibel, bisa dinegosiasikan terutama untuk pemesanan dalam jumlah besar. Bagi Sri, menjaga kepercayaan pelanggan adalah cara terbaik untuk tetap bertahan, di tengah segala kehilangan dan perubahan.
Ramadhan kemarin menjadi salah satu momen sibuk yang tak terlupakan bagi Sri Kurniati. Di tengah hiruk-pikuk bulan suci dan jadwal produksi yang padat, Grand Bordir menerima pesanan besar dari PT Asian Agri, sebanyak 7.000 seragam kerja. Jumlah yang tidak kecil bagi sebuah usaha rumahan yang dijalankan bersama anak-anak. Tawaran itu datang sebagai bentuk kepercayaan besar dari klien korporat, tapi juga membawa tantangan yang tidak main-main, tenggat waktu yang sangat ketat.
Sri sempat terdiam, menimbang kemampuan tim kecilnya. Setelah berdiskusi dengan anak-anak, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil sebagian saja dari pesanan tersebut, sekitar 1.000 seragam yang sanggup mereka kerjakan dengan kualitas terbaik. Selebihnya, dengan penuh tanggung jawab, ia limpahkan kepada rekan-rekan pembordir lainnya yang ia percaya bisa menjaga standar mutu.
“Nggak mau maksa juga,” katanya tegas. “Saya utamakan kualitas. Kalau dikejar-kejar waktu, bisa kacau hasilnya. Nama baik itu susah didapat, jadi jangan sampai rusak cuma karena kejar jumlah.”
Keputusan itu mungkin membuat Grand Bordir melewatkan potensi keuntungan lebih besar, tetapi bagi Sri, menjaga kepercayaan dan konsistensi hasil adalah fondasi utama yang tak bisa dikompromikan.
Dalam menjalankan usahanya, Sri Kurniati bukan hanya mengandalkan keterampilan menjahit dan membordir, tetapi juga ketelitian dalam mengelola transaksi. Sejak awal merintis Grand Bordir, ia sudah mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada Bank BRI. Bagi Sri, pilihan itu bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi soal kepraktisan dan kepercayaan.
Dengan bantuan aplikasi BRImo, ia tak perlu lagi bolak-balik ke bank hanya untuk memastikan uang masuk atau memantau pembayaran pelanggan. Di sela-sela mengecek hasil bordiran atau menyiapkan pesanan, ia cukup membuka aplikasi di ponselnya untuk melihat mutasi rekening secara real time. Pelunasan, transfer, hingga bukti pembayaran bisa langsung ia pastikan dalam hitungan menit.
“Sekarang semua tinggal dicek dari HP. Nggak ribet,” katanya sambil menunjukkan layar ponselnya. “Waktu saya lebih efisien, jadi bisa fokus ke produksi.”
Bagi seorang pelaku usaha kecil seperti Sri, kemudahan digital seperti ini menjadi tulang punggung yang membantu Grand Bordir tetap tangguh dan tertata, tanpa harus mengorbankan waktu atau tenaga lebih banyak.
Kepuasan pelanggan jadi prioritas utama Grand Bordir. Samuel Butar Butar (32), warga Medan Amplas, salah satunya. Ia memesan dua lusin kaos polo bordir dan mengaku sangat puas. “Hasilnya rapi, persis kayak desain yang saya kasih. Nggak nyangka bisa sebagus itu,” ujarnya.
Editor : Chris