MEDAN, iNewsMedan.id - Abdillah Sibarani, pegiat usaha sekaligus tokoh Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), menyampaikan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Dalam pandangannya, kebijakan tersebut berpotensi membebani ekonomi masyarakat serta pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Dengan merujuk pada data dari PricewaterhouseCoopers (PwC) 2024, Abdillah mencatat bahwa tarif PPN di Indonesia akan menjadi salah satu yang tertinggi di wilayah ASEAN, setara dengan Filipina. Sementara negara-negara tetangga seperti Singapura menerapkan pajak barang dan jasa (GST) sebesar 9%, dan Thailand justru telah menurunkan PPN dari 10% menjadi 7%.
"Banyak pelaku usaha di Indonesia masih berjuang untuk pulih dari dampak pandemi. Banyak di antara mereka yang bergantung pada utang di bank untuk mempertahankan bisnis mereka. Kenaikan PPN ini hanya akan menambah tekanan dan menyulitkan mereka untuk bertahan," jelas Abdillah, Senin (18/11/2024).
Lebih lanjut, Abdillah mencermati keputusan Thailand yang memilih untuk menurunkan PPN guna mendorong daya beli dan pemulihan ekonomi, sementara Indonesia justru mengambil langkah yang berlawanan.
"Ini akan memukul daya beli masyarakat dan menurunkan daya saing pelaku usaha kita," tegasnya.
Kenaikan PPN, menurut Abdillah, tak hanya akan mempengaruhi pelaku usaha, tetapi juga konsumen. "Harga barang dan jasa akan meningkat, sehingga daya beli masyarakat menurun, yang akan berdampak negatif pada pelaku usaha kecil yang bergantung pada konsumsi domestik," ungkapnya.
Abdillah juga memaparkan bahwa banyak pelaku usaha mikro dan kecil saat ini sedang berjuang untuk membayar utang bank di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil. Oleh karena itu, ia memperingatkan bahwa jika pemerintah tetap meneruskan rencana kenaikan PPN ini, risiko kebangkrutan di sektor UMKM kemungkinan akan meningkat.
"Padahal, UMKM adalah penopang ekonomi Indonesia," lanjutnya.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Abdillah menyerukan agar pemerintah melalui Kementerian Keuangan membatalkan rencana kenaikan PPN 12% dan mempertimbangkan kebijakan yang lebih pro-rakyat dan pro-usaha. Ia bahkan mengusulkan agar tarif PPN dikembalikan ke angka 10% seperti sebelumnya.
"Kebijakan fiskal harus mendukung pemulihan ekonomi, bukan justru memperberat beban masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih bijak, belajar dari negara-negara tetangga yang menurunkan tarif pajak untuk memacu konsumsi dan memperkuat ekonomi domestik," tutupnya.
Seruan Abdillah ini menggambarkan pentingnya kebijakan fiskal yang responsif terhadap kondisi masyarakat. Diharapkan pemerintah lebih peka dan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas target peningkatan penerimaan negara, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga dan berkelanjutan.
Editor : Chris