Oleh : Dr.Muhammad Rustamaji, S.H., M.H
iNewsMedan.id- Sorotan publik terhadap kasus yang melibatkan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh terus meningkat eskalasinya. Terlebih ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali gagal menjeratnya dengan berbagai dakwaan.
Terbaru, Gazalba kembali lolos dari jeratan hukum dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) setelah Jaksa KPK mengeksekusi Putusan Sela Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Terlepas dari pro kontra yang terjadi, putusan hakim merupakan hukum yang bersifat in konkreto. Putusan hakim inilah yang juga disebut sebagai hukum, dan merupakan perwujudan judge made law.
Putusan yang dihasilkan juga merupakan bahan hukum primer yang bersifat autoritatif. Artinya, author dari suatu produk hukum tersebut mempunyai kewenangan berdasar hukum.
Maka putusan hakim selalu dianggap benar sepanjang belum ada putusan hakim yang menganulirnya. Res judicata proveritate habetur inilah yang menjadi landasan asas atau prinsip hukum, bahwa apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan, sepanjang tidak ada putusan yang menganulirnya.
Penguatan Single Prosecution System dan Dominus Litis
Putusan Sela Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pada kasus Gazalba dapat dikatakan sebagai penguatan Single Prosecution System maupun Asas Dominus Litis.
Sistem penuntutan tunggal ini diformulasikan pada Pasal 35 ayat (1) huruf j UU Kejaksaan. “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan", ketentuan inilah yang mendasari single prosecutions system tersebut.
Sistem demikian mendudukkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara. Adapun penuntut umum dapat melakukan penuntutan, serta penyidikan sebagai bagian dari penuntutan yang menerima delegasi.
Kaitannya dengan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana korupsi sesuai lex specialis UU Tipikor maupun UU KPK, hal demikian tidak serta merta menegasikan kedudukan sentral Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Hal demikian karena UU KPK merupakan lex specialis terhadap KUHAP, bukan terhadap UU Kejaksaan. Sejalan dengan Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, Single Prosecution System yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.
Berdasarkan asas Dominus Litis, Kejaksaan dan Penuntut Umum yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung, merupakan pemilik perkara atau pihak yang memiliki kepentingan nyata dalam suatu perkara. Sehingga berwenang menentukan dapat tidaknya suatu perkara diperiksa dan diadili di persidangan.
Asas Een En Ondelbaar
Putusan atas kasus Gazalba demikian juga dikaitkan dengan eksistensi asas een en ondelbaar. Asas tersebut menegaskan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.
Een en ondelbaar berfungsi memelihara kesatuan kebijakan penuntutan yang menampilkan tata pikir, tata laku, dan tata kerja lembaga penuntut. Asas demikian disematkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan dan Penjelasannya.
Oleh karenanya, Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan demikian menjelaskan institusi Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penuntutan, dan Jaksa Agung dalam jabatannya yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan.
Maka ketika majelis hakim menggunakan cara pandang normatif sesuai rule of the game dalam hukum acara, yang menyatakan Jaksa KPK tidak berwenang mengajukan tuntutan terhadap Gazalba Saleh, hal demikian tidak dapat disimplifikasi sebagai langkah pelemahan KPK.
Ketentuan normatif yang ditaati hakim, justru menegaskan perlunya kolaborasi yang padu antar aparat penegak hukum (APH) agar bersatu dalam proses penuntutan. Ketentuan tekstual yang mewujudkan een en ondelbaar dalam proses penuntutan di bawah Jaksa Agung, menjadi poin penting penegakan hukum yang terkoordinasi.
Pada kulminasi demikian, sikap yang mengedepankan hermeneutik of suspecsious, pada peradilan Gazalba Saleh harus dikoreksi dengan penerapan asas, ketentuan maupun kepentingan kesatuan proses penuntutan oleh kejaksaan.
Sehingga hukum acara sebagai rule of the game, tidak dipandang secara skeptis dan parsial dalam implementasainya dalam menemukan kebenaran materiil.
Penulis adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
Editor : Ismail