BELAKANGAN ini bonus demografi menjadi salah satu wacana publik yang paling sering diperbincangkan. Presiden RI Jokowi dalam berbagai kesempatan bahkan sering mengingatkan bahwa bonus demografi ini bisa jadi peluang tapi bisa juga jadi beban, bahkan bisa jadi bencana kalau tidak bisa mengelolanya dengan baik. Meski begitu ia optimis bonus demografi Indonesia bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa meningkatkan level Indonesia menjadi negara maju. Indonesia diperkirakan segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030 mendatang. Proyeksi tersebut didasarkan pada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, dimana jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak 140 juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk indonesia.
Apa itu Bonus Demografi?
Menurut World Bank, bonus demografi terjadi ketika kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai proporsi yang signifikan dalam populasi, dan apabila mereka dapat berkontribusi secara maksimal dalam ekonomi. Sedangkan jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, bonus demografi sering diartikan sebagai peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi karena adanya lebih banyak orang yang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak produktif.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut maka pemerintah tentu perlu melakukan administrasi penduduk yang lengkap dan terintegrasi. Sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik merupakan salahsatu upaya strategis pemerintah dalam memetakan karakteristik penduduk berdasarkan wilayah tempat tinggalnyaHasil dari pemetaan dan data tersebut kemudian lebih dikenal dengan struktur demografi yang menggambarkan struktur kependudukan seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, rumah tangga dan lain sebagainya.
Tantangan Bonus Demografi
Jika kita perhatikan data yang ada, kondisi pasar kerja serta kualitas angkatan kerja di Indonesia tampaknya masih banyak hal yang masih perlu dibenahi. Hal ini tercermin dari data rilis BPS yang melaporkan bahwa angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2023 sebesar 5,32 persen. Walaupun angka tersebut turun sebesar 0,54 poin dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi ironisnya Indonesia masih menempati peringkat kedua dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di Asia Tenggara. Indonesia hanya lebih baik dari Brunei Darusalam dengan angka pengangguran sebesar 7,2 persen. di Di samping itu melebarnya sektor informal di perkotaan menunjukkan bahwa kondisi pasar kerja di Indonesia kurang terkelola dengan baik.
Adapun tantangan terbesar dalam memaksimalkan bonus demografi adalah bagaimana membangun sumber daya manusia yang kompeten, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan. Kalau kita melihat data pendidikan nasional memang akses pendidikan di Indonesia tampak sudah membaik. Tapi sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia masih kalah dengan negara tetangga. Hal ini terlihat dari data yang dirilis oleh worltdop20.org pada tahun 2023 dimana peringkat kualitas pendidikan Indonesia hanya berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia.
Terakhir soal tantangan layanan kesehatan, harus diakui bahwa respon pemerintah Indonesia dengan lebih baik dari sebelumnya. Dalam satu dekade terakhir pemerintah telah mengupayakan layanan kesehatan universal yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu penggalakan program kesehatan reproduksi juga diambil oleh pemerintah untuk memastikan bahwa generasi masa depan Indonesia bebas dari stunting. Data yang dilansir dari Kementrian Kesehatan menyebutkan bahwa tahun 2023 ini prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%, sementara itu standard WHO terkait prevalensi stunting harus di angka kurang dari 20%. Walaupun Indonesia mampu menurunkan angka stunting setiap tahun, akan tetapi Indonesia belum berhasil mencapai target minimum yang ditetapakan oleh WHO.
Apa yang harus dilakukan?
Untuk menuju Indonesia Emas pada tahun 2045, pemerintah wajib berkolaborasi dengan para akademisi, praktisi, dan masyarakat sehingga tercipta sinergitas yang kuat untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang muncul. Peran para akademisi diharapkan banyak melakukan riset dan analisis mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi bonus demografi, seperti kebutuhan pasar tenaga kerja, tren industri, dan peluang sektor ekonomi yang dapat diperluas sehingga bisa dipakai sebagai masukan berharga bagi pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan.
Praktisi mempunyai peran strategis menjadi mentor bagi generasi muda, berbagi pengalaman, memberikan wawasan industri, dan membimbing para profesional muda untuk menghadapi tantangan di dunia kerja. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran sendiri mengenai pentingnya mengasah ketrampilan dasar dan ketrampilan khusus agar mampu bersaing di pasar tenaga kerja.
Setiap kebijakan yang diambil pemerintah juga wajib memperhatikan berbagai aspek seperti: Pertama, aspek ilmu pengetahuan. Pemerintah harus serius melakukan investasi dana abadi pendidikan khusus di bidang riset dan pengembangan untuk bisa memprediksi akan kebutuhan ketrampilan kerja di masa depan.
Kedua, pada aspek sosial ekonomi perlu dilakukan gebrakan kebijakan yang nyata seperti memastikan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata, memberikan insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha, khususnya yang berorientasi pada inovasi dan kewirausahaan. Ketiga, pada aspek infrastruktur dan teknologi agar secara konsisten membangun infrastruktur dasar seperti jalan, irigasi, jembatan, dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan konektivitas antarwilayah.
Keempat, pemberdayaan UMKM. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2019 daya serap tenaga kerja di sektor UMKM adalah sebanyak 119,6 juta pekerja atau setara 96,92 % dari total pekerja Indonesia. Sementara itu kontribusi UMKM terhadap nilai perekonomian nasional (PDB) sebesar 60,51 persen. (sumber: Kemenkop UKM). Jika ingin ekonomi Indonesia semakin menggeliat, maka Pemerintah seharusnya sudah tahu sektor UMKM adalah kunci penggerak utamanya. Dengan demikian, momentum bonus demografi yang akan dialami indonesia bukan hanya sebatas jargon semata, melainkan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sehingga mampu membawa Indonesia menjadi negara yang hebat dan kuat.
Artikel ini dibuat oleh Junawi H. Saragih dan Lenora Aruan, Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Dengan dosen pengampu Prof. Dr. Elisabet Siahaan SE. M. Ec.
Editor : Odi Siregar