MEDAN, iNewsMedan.id - Dokumenter berjudul ‘Lara Aspal’ tayang perdana, Rabu (8/11/2023). Film yang menceritakan soal dampak pencemaran aspal dari kandasnya kapal MT AASHI ini merupakan kolaborasi antara Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara dengan Voice of Forest (VoF).
Penayangan perdana ini digelar di Gedung Magister FISIP USU. Selain penayangan perdana, WALHI Sumut juga menggelar diskusi publik yang menghadirkan para akademisi. Antara lain; Dekan FISIP USU Dr. Hatta Ridho, S.Sos, MSP; Ketua Prodi Magister Studi Pembangunan USU Prof Subhilhar, MA., Ph.D; Prof R Hamdani Harahap; Direktur WALHI Sumut Rianda Purba, Sutradara Prayugo Utomo.
Selain itu, kegiatan ini juga dilakukan via daring, yang turut mengundang pakar Oseanografi FISIKA UNSYIAH Haekal A Haridhi, Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan WALHI Nasional Parid Ridwanul, Kasubdit PSLH – LP, Dit. PSLH, Ditjen PHLHK - KLHK Dr. Eko Novi Setiawan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara Sabar Jaya Telaumbanua dan masyarakat terdampak pencemaran Yanuarman Gulo.
Lara Aspal menyajikan hasil investigasi WALHI Sumut yang dilakukan pada Juni 2023 lalu. Lara Aspal memotret bagaimana dampak buruk pencemaran, baik terhadap masyarakat pesisir dan ekosistemnya.
Pada 11 Februari 2023, kapal tanker MT ASSHI berbendera Gabon yang berlayar dari Uni Emirat Arab mengangkut ±3600 metrik ton aspal kandas di perairan laut Desa Humene Siheneasi, Kecamatan Tugala Oyo, Kecamatan Nias Utara.
Sutradara film Lara Aspal, Prayugo Utomo bersama para akademisi dalam diskusi publik yang digelar oleh WALHI Sumut. (Foto: Istimewa)
Hingga November 2023, bangkai kapal belum juga dievakuasi. Aspal yang terdapat di dalamnya masih ke luar dan menyebar di perairan Nias.
Hasil investigasi WALHI Sumut menunjukkan, pencemaran lingkungan akibat aspal masif terjadi. Direktur WALHi Sumut Rianda Purba mengatakan, kerusakan terjadi mulai dari terumbu karang, konservasi mangrove dan pesisir pantai.
WALHI Sumut juga menyorot soal kerugian sosial dan ekonomi yang dialami para nelayan. Hasil tangkapan ikan turun drastis. Mereka juga harus melaut lebih jauh. Tentunya, nelayan harus merogoh kocek lebih dalam untuk BBM.
“Nelayan sudah tidak mendapat hasil tangkapan seperti sebelum kapal kandas. Mereka juga harus menghabiskan modal lebih banyak untuk BBM,” kata Rianda.
Kata Rianda, WALHI Sumut mendesak perusahaan dan pemerintah segera evakuasi kapal, jika tidak, maka kita tinggal menunggu kehancuran laut Nias dan perairan Samudera Indonesia.
Editor : Odi Siregar