MEDAN, iNewsMedan.id - Saat ini, berbagai aspek kehidupan manusia tidak jauh dari penggunaan media digital. Teknologi, komunikasi dan informasi tersebut menjadi sumber terpenting dalam melakukan apapun bagi semua kalangan. Khususnya, pada anak-anak yang cukup dini untuk menjadi pengguna media digital.
Era digital ini, anak-anak bebas mengeksplorasi apa saja melalui media sosial. Jika terjadi di luar pengawasan akan menciptakan kekerasan dalam media sosial baik pelecehan seksual dan psikis. Setiap tahunnya, tingkat pelecehan seksual tidak pernah turun dari grafiknya. Dari berbagai negara termasuk Indonesia sendiri tidak luput dari kasus pelecehan seksual.
"Pelecahan seksual biasanya terjadi karena timbul rasa keinginan dan kesempatan dari pelaku untuk melakukannya serta terdapat stimulus dari korban yang dapat memancing pelaku. Pelaku pelecahan seksual biasanya memiliki kuasa yang lebih dari korban," kata Hazrina Syahirah Putri, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (5/1/2023).
Pernyataan dari Dr. Indri Dwi tentang pelecehan seksual dalam webinarnya bahwa korban didominasi oleh perempuan di 22 negara. Pelecehan sering terjadi di media sosial yang tercatat sebanyak 23% Instagram, 14% Whatsapp, 10% Snapchat, 9% Twitter dan 6% Tiktok. Pada tahun 2017, menurut peringkat ICT Development Index Indonesia memiliki tingkat yang rendah dibandingkan negara asia tenggara lainnya. Walaupun hal tersebut, Indonesia tetap memiliki kenaikan skor yang tinggi dalam kurun waktu satu tahun. Pelecehan seksual dapat dikatakan sebagai kekerasan berbasis gender (KBGO).
"Bentuk kekerasan berbasis gender online seperti body shaming, ancaman kekerasan seksual dan fisik, online sexual jokes dan harassment. Pelecehan seksual biasanya terjadi dalam kolom komentar setiap gambar, video atau audio yang dipublikasi," ucap Hazrina.
Editor : Jafar Sembiring