Dia sanggup menggambar wajah Pangeran Diponegoro secara akurat. Hasil dari energi dan kemampuan yang banyak tercurah itu adalah wajah Diponegoro berparas halus dengan sorot dua bola mata yang menatap tajam. Gestur wajah yang kemudian kerap disebut memancarkan martabat.
Sementara pakaian Diponegoro, yakni kebaya yang ditutup kancing dan jas longgar yang disampirkan di bahu, kemudian keris terselip pada selempang berhias sulaman serta kepala tertutup serban dengan ujung tergantung di atas bahu kiri, ia tuntaskan dalam sketsa kasar.
Pada masa di antara 8 April dan 4 Mei tahun 1830 itu, Jan Bik berhasil menuntaskan gambar sketsa Diponegoro separuh badan. Ia menuliskan dua judul di sebelah kiri bawah dan tengah lukisan: A.J. Bik, digambar dari model hidup, Batavia 1830 dan Diponegoro, kepala para pemberontak di Jawa.
Pada tahun 1898 atau 68 tahun kemudian, Jan Bik yang beralamat tinggal di Batavia menghadiahkan album bersampul kain linnen merah kepada Rijksmuseum di Amsterdam Belanda. Album itu berisi 98 lembar halaman yang tertempel 74 gambar dan beberapa litografi.
Salah satu gambar yang tertempel itu dan menjadi gambar terpenting adalah lukisan sketsa wajah Pangeran Diponegoro. “Sketsa pensil dari seorang pria, yang digambarkan hanya separuh badan: dia duduk di atas kursi,” tulis Harm Stevens dalam Yang SilamYang Pedas, Indonesia dan Belanda Sejak Tahun 1600.
Seperti yang tercatat dalam sumber sejarah. Dari Batavia, Pangeran Diponegoro kemudian menjalani pembuangan ke Manado (1830) dan berlanjut di Fort Rotterdam, Makassar (1833). Pada pukul setengah tujuh pagi tanggal 8 Januari 1855, pangeran Jawa yang sangat ditakuti Kolonial Belanda itu, wafat di tanah pengasingannya. Teks dari akta kematian itu menyebut, meninggal dunia sebagai akibat dari menurunnya tenaga karena usia lanjut.
Editor : Odi Siregar