get app
inews
Aa Read Next : Daftar 6 Makanan yang Tidak Boleh Dihangatkan Kembali, Nomor 1 Telur Rebus

Heboh Isu Ganja Medis, Prof Beri: Bisa Menjadi Pilihan, Tapi Bukan yang Terbaik

Kamis, 30 Juni 2022 | 07:00 WIB
header img
Ilustrasi ganja (Foto: Freepik)

MASYARAKAT tengah ramai membicarakan isu ganja medis beberapa waktu belakangan.

Awalnya menjadi viral, karena ramainya kisah seorang ibu yang memperjuangkan ganja medis legal di Indonesia untuk pengobatan sang anak, Pika yang mengidap cerebral palsy dan sering mengalami kejang.

Ibu bernama Santi tersebut memperjuangkan ganja medis tersebut untuk bisa legal di Indonesia, demi pengobatan anaknya tersebut.

Mencuatnya isu ganja medis sebagai pengobatan ini, tentu menimbulkan pertanyaan sebagian pihak. Sebagai informas, di luar negeri contohnya di Amerika, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) sudah mengizinkan dua obat dengan kandungan ganja untuk diedarkan.

FDA telah menyetujui satu obat ganja nabati (Epidiolex) yang mengandung cannabidiol murni (CBD) dari tanaman ganja. Menurut Ahli Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban, obat tersebut digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka.

Nah, obat berikutnya yang sudah disetujui FDA juga, yakni dua obat sintetis tetrahydrocannabinol (THC) yang mana obat-obatan ini punya fungsinya tersendiri. Bisa untuk meredakan mual, sampai untuk meningkatkan nafsu makan.

"Kalau untuk pasien kanker yang menjalani kemoterapi, obat THC diberikan untuk mengobati mual (anti-mual). Tapi, kalau untuk pasien HIV/AIDS, obat ini dipakai untuk meningkatkan nafsu makan," papar Prof Beri, sapaan akrabnya, lewat cuitan Twitter, dikutip Rabu (29/6/2022).

Nah, menjadi pertanyaan sekarang apakah pengobatan dengan ganja medis ini lebih baik daripada terapi obat lainnya?

Prof Beri menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada bukti bahwa obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi.

"Namun, ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif obat. Tapi ingat, bukan menjadi yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," tegasnya.

Di sisi lain, Prof Beri menerangkan bahwa sejauh ini para ilmuwan tidak punya cukup bukti untuk menyatakan konsumsi ganja dengan cara tertentu lebih aman dari yang lain.

"Yang jelas, merokok ganja merusak paru dan sistem kardiovaskular, sama seperti tembakau," ungkapnya.

Itu kenapa penggunaan vaping ganja pun menurut Prof Beri tidak cukup aman. Menurutnya, banyak sekali laporan produk vaping yang mengandung THC dan berkaitan dengan cedera paru bahkan kematian.

Editor : Odi Siregar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut