Tjong A Fie, Crazy Rich Medan Tempo Dulu yang Berhati Mulia

Yuswantoro
Tjong A Fie, taipan dermawan yang sumbangkan kekayaan untuk bangun Masjid Raya Medan. (Foto studio Tjong A Fie koleksi Tropenmuseum)

Tjong A Fie Mansion merupakan salah satu warisan sejarah yang ada di Kota Medan sejak ditetapkan tahun 2010 lalu. Hal menarik lainnya, yakni, bangunan itu membawa dimensi tempo dulu, saat Kota Medan mulai berkembang.

Di dinding Tjong A Fie Mansion, terpampang foto-foto sejarah. Bahkan surat wasiat Tjong A Fie kepada keturunannya pun dipajang. Rumah dua lantai itu tampak masih cukup terawat meski telah berusia ratusan tahun. Barang-barang antik koleksi Tjong A Fie dan keluarganya pun masih tersimpan dan ditata dengan baik.

Tjong A Fie Mansion merupakan bangunan rumah tinggal dari crazy rich di era kolonial, Tjong A Fie. Berbeda dengan berita-berita crazy rich di masa kini, yang banyak didominasi tentang cerita kekayaannya, Tjong A Fie dikenal sebagai saudagar kaya raya yang berhati mulia.

Keberadaan Tjong A Fie tak bisa dipisahkan dari berkembangnya Kota Medan, hingga menjadi kota besar seperti saat ini. Tjong A Fie yang lahir sekitar tahun 1860, dan meninggal di tahun 1921 adalah seorang pengusaha, bankir dan kapitan yang berasal dari Tiongkok.

Dia sukses membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera. Tjong A Fie membangun bisnis besar yang memiliki lebih dari 10 ribu orang karyawan. Kesuksesannya membangun bisnis, membuat Tjong A Fie dekat dengan para kaum terpandang di Medan, di antaranya Sultan Deli, Ma'moen Al Rasyid, serta para pejabat kolonial Belanda.

Pada tahun 1911, Tjong A Fie diangkat sebagai Kapitan Tionghoa atau Majoor der Chineezen, yang tugasnya memimpin komunitas Tionghoa di Medan, menggantikan kakaknya, Tjong Yong Hian.

Penguasaannya di bidang ekonomi dan politik, membuat Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani. Dia memiliki kerajaan bisnis yang mengurus perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank, hingga perusahaan kereta api.

Lahir dengan nama Tjong Fung Nam, Tjong A Fie merupakan keturunan orang Hakka di Sungkow, Meixian, Guangdong, Tiongkok. Sebelum dikenal dengan nama Tjong A Fie, dia juga pernah diberi nama Tjong Yiauw Hian.

Meskipun dikenal sebagai crazy rich, siapa sangka Tjong A Fie dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Bahkan, Tjong A Fie dan kakaknya Tjong Yong Hian, harus meninggalkan sekolah untuk membantu menjaga toko milik ayahnya.

Putus sekolah, dan mendapatkan pendidikan sedanya, tidak membuat kemampuan itelektual Tjong A Fie surut. Dia bahkan memiliki kecerdasan yang luar biasa, serta memiliki kemampuan berdagang yang tinggi. Tak heran, usah keluarganya menjadi sukses.

Merantau ke wilayah Hindia Belanda, menjadi pilihan Tjong A Fie muda, dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik. Dia berangkat ke Medan, pada tahun 1875, saat usianya masih sangat belia, yakni 18 tahun.

Berbekal sedikit uang, Tjong A Fie muda nekat mengadu nasib di Medan. Dia menyusul kakaknya, Tjong Yong Hian yang sudah lima tahun hidup di jantungnya Sumatera Utara. Tiba di Medan, Tjong A Fie bekerja di toko milik Tjong Sui Fo yang merupakan teman kakaknya.

Kerjanya serabutan, tugasnya menangani pembukuan toko, melayani para pelanggan, hingga menagih utang. Bahkan, dia juga harus menjalankan tuga-tuga lain di toko tersebut, agar bisnis tetap bisa berjalan.

Tjong A Fie dikenal sangat ramah dan mudah bergaul, sehingga temannya sangat banyak. Bukan hanya orang Tionghoa saja, dia juga bersahabat dengan orang Melayu, Arab, India, dan pastinya orang Belanda.

Sebagai perantauan, dia sangat menghormati budaya masyarakat lokal. Salah satunya dibuktikannya dengan belajar berbicara menggunakan bahasa Melayu, yang kala itu sudah menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli.

Kehidupannya sangat bersih. Dia begitu tangguh dan tak tergoyahkan, meskipun godaan candu, judi, mabuk-mabukan, dan pelacuran begitu kuat kala itu. Sifatnya yang begitu baik, membuatnya menjadi teladan dan memiliki jiwa kepemimpinan yang menonjol.

Kedewasaan dan kebijaksanaannya dalam setiap berpikir serta bertindak, membuat Tjong A Fie sering menjadi juru damai dan penengah ketika terjadi konflik di antara warga Tionghoa dengan etnis lain.

Kala itu, di wilayah perkebunan Belanda, sering terjadi keributan di kalangan buruh. Keributan itu tak jarang memicu kekacauan yang lebih besar. Berkat kecakapannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu menyelesaikan kekacauan-kekacauan itu.

Setelah kakaknya wafat, Tjong A Fie dipercaya menjadi Kapitan pada tahun 1911. Bahkan, atas rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie akhirnya menjadi anggota gemeenteraad atau dewan kota, dan cultuurraad atau dewan kebudayaan. Tak hanya itu, dia juga menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.

Sebelum merantau ke Hindia Belanda, Tjong A Fie telah memiliki istri bermarga Lie di Changnam,Tiongkok. Sementara, saat sudah merantau ke Deli, dia menikah dengan Nona Chew dari Penang.

Dari pernikahannya dengan Nona Chew, Tjong A Fie dikaruniai tiga anak, yakni Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin, dan Tjong Kwei-Jin. Pada perjalanannya, Nona Chew meninggal dunia, sehingga Tjong A Fie memutuskan untuk menikah yang ketiga kalinya.

Pada pernikahan ketiga, dia menikahi putri seorang mandor perkebunan tembakau di Sungai Mancirim, Lim Sam-Hap. Gadis putri mandor yang tertambat di hati Tjong A Fie tersebut, bernama Lim Koei Yap dari Timbang Langkat, Binjai.

Dari pernikahannya yang ketiga ini, Tjong A Fie memiliki tujuh anak, yakni Tjong Foek-Yin (Queeny), Tjong Fa-Liong, Tjong Khian-Liong, Tjong Kaet Liong (Munchung), Tjong Lie Liong (Kocik), Tjong See Yin (Noni), dan Tjong Tsoeng-Liong (Adek).

Tjong A Fie dikenal sebagai orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan sangat luas di tanah Deli. Hal ini, tak lain berkat kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Tjong A Fie menjalin hubungan baik dengan Sultan Deli, Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, dan Tuanku Raja Muda. Kondisi ini memudahkannya membuka usaha, salah satunya saat Sultan deli memberinya konsesi penyediaan atap daun nipah, untuk keperluan pembuatan bangsal di perkebunan tembakau miliknya.

Bisnisnya menggurita, di antaranya perkebunan tembakau di Deli, teh di daerah Bandar Baru, dan Si Bulan, serta perkebunan kelapa. Tak hanya itu, di wilayah Sawah Lunto, dan Bukit Tinggi, Sumatra Barat, dia juga menanamkan modal untuk usaha pertambangan.

Luas perkebunannya di Deli, sampai mengalahkan luas perkebunan milik Deli Maatschappij yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Pemerintah Belanda, juga mempercayakan pengelolaan 17 kebun kepada Tjong A Fie. Untuk mengurus perkebunan itu, Tjong A Fie dibantuk 10 ribu pekerja.

Usahanya terus berkembang. Bersama kakaknya, Tjong A Fie bekerja sama membangun perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co.Ltd. di Tiongkok Selatan. Usaha ini dirintisnya bersama paman sekaligus konsul Tiongkok di Singapura, Chang Pi Shih.

Bisnisnya yang terus berkembang dan menggurita, hingga turut memajukan Kota Medan, tak luput dari prinsip hidup Tjong A Fie. Dia selalu mengamalkan tiga hal, yakni jujur, setia, dan bersatu.

Tjong A Fie juga selalu menghormati wilayah yang di datanginya. Prinsipnya "Di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak". Dia juga tak rakus menguasai hartanya. lima persen dari keuntungan usahanya selalu di bagikan kepada para pekerja.

Semasa hidupnya, Tjong A Fie sangat berjasa atas perkembangan Kota Medan. Kota yang kala itu dikenal dengan nama Deli Tua, mendapatkan sumbangan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama dari Tjong A Fie.

Tjong A Fie juga membantu pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan. Dia juga berperan dalam pembangunan Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok.

Dia juga dikenal sebagai pelopor industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Hingga kini karya itu masih bisa dirasakan, berupa jalur kereta api yang menghubungkan Kota Medan dengan Pelabuhan Belawan.

Sebelum meninggal dunia, Tjong A Fie membuat wasiat dengan menyerahkan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong. Yayasan tersebut, harus didirikan Medan dan Sungkow, pada saat dia meninggal dunia.

Tak hanya itu, dalam wasiatnya, dia membuat pernyataan tertulis agar yayasan itu nantinya juga memberikan bantuan keuangan untuk kepentingan penyelesaian pendidikan kepada para pemuda berbakat, dan berkelakuan baik, tanpa membedakan kebangsaan.

Yayasan Toen Moek Tong ini, juga diwasiatkan oleh Tjong A Fie untuk membantu orang tidak mampu bekerja dengan baik akibat cacat, serta membantu mereka yang menjadi korban bencana alam tanpa memandang etnis.

Apopleksia atau pendarahan otak, membuat perjalanan hidup Tjong A Fie berakhir. pengusaha kaya raya ini, meninggal dunia pada tanggal 4 Februari 1921. Kepergiannya untuk selamanya, membuat warga Kota Medan berduka.

Ribuan orang pelayat datang dari berbagai daerah, untuk mengantarkannya ke tempat peristirahatan abadi, Para pelayat itu tak hanya datang dari Kota Medan, mereka juga datang dari Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura, dan Pulau Jawa.

Editor : Odi Siregar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network