Indonesia diproyeksikan menjadi negara yang maju dan masuk sebagai kekuatan ekonomi lima besar dunia dengan kualitas manusia yang unggul, menguasai ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mana hal ini merupakan Visi Indonesia pada 2045.
Indonesia diperkirakan bisa keluar dari middle income trap pada tahun 2045 dengan syarat rata-rata pertumbuhan ekonomi hingga 2045 dengan target Produk Domestik Bruto (PDB) riil 5,7% dan PDB riil per kapita sebesar 5,0%. Sektor konstruksi memberi kontribusi sekitar 10,96 pada triwulan ke-empat tahun 2020 terhadap PDB Indonesia.
Sektor jasa konstruksi memiliki dinamika yang bergerak sangat dinamis, hal ini dikarenakan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dituntut untuk selalu yang tepat mutu, tepat waktu dan tepat biaya. Dinamika sektor jasa konstruksi yang sering terjadi dewasa ini antara lain refocussing belanja kementerian untuk pengendalian pandemi Covid-19, penawaran badan usaha yang disampaikan pada proses pengadaan barang/jasa terlalu rendah harga, terjadinya bencana dan keadaan kahar serta dilakukannya adaptasi pola baru penyelenggaraan jasa konstruksi melalui design-build dan pengadaan langsung.
Kondisi-kondisi dinamika sektor konstruksi yang dinamis tersebut sering kali berdampak dilakukannya perubahan kontrak kerja konstruksi. Permasalahan yang sering terjadi dari pelaksanaan kontrak kerja konstruksi seperti dokumen kontrak yang multitafsir, pengguna jasa maupun penyedia jasa yang masih kurang dalam memahami isi kontrak dan pengguna jasa yang kurang tepat memilih jenis kontrak serta kondisi-kondisi teknis di lapangan.
Melihat tingginya permasalahan sektor jasa konstruksi akan berpengaruh pada penyelesaian pembangunan konstruksi. Untuk itu diperlukan mitigasi risiko terhadap potensi sengketa kontrak yang mungkin terjadi dikemudian hari. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) telah memberikan pengaturan terhadap pilihan penyelesaian sengketa konstruksi. Undang-Undang ini mengutamakan penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Musyawarah yang dimaksud adalah proses negosiasi, dimana kedua pihak yang bersengketa saling bertemu dan menyelesaikan permasalahannya.
Jika upaya musyawarah belum mencapai titik terang dari sengketa atau tidak mencapai kemufakatan, maka para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana yang tercantum di dalam kontrak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 47 Ayat (1) UU Jasa Konstruksi bahwa pilihan penyelesaian sengketa konstruksi wajib dicantumkan dalam kontrak kerja konstruksi.
Meskipun demikian, UU Jasa Konstruksi masih memberikan alternatif bagi para pihak dalam hal belum dicantumkannya pilihan penyelesaian sengketa dalam kontrak kerja konstruksi, dengan membuat persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Adapun upaya penyelesaian sengketa setelah musyawarah tidak tercapai dilakukan dengan tahapan mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Selain upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi, para pihak dapat bersepakat untuk membentuk “Dewan Sengketa Konstruksi” yang dilaksanakan dengan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak. Pengatuan lebih lanjut tentang Dewan Sengketa Konstruksi terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Petunjuk Teknis Dewan Sengketa Konstruksi.
Dalam praktik internasional konsep dewan sengketa atau Dispute Board bukan hal yang baru. Konsep ini bermula dari gagasan Federation Internationale des Ingenieur Counsiels (FIDIC) untuk penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga dengan harapan tidak memihak kedua pihak yang bersengketa. Konsep ini digunakan pada proyek Boundary Dam dan Underground Powerhouse Complex di negara bagian Washington pada pertengahan tahun 1960, dan pekerjaan pengeboran kedua Eisenhower Tunnel di Colarado tahun 1975, yang hasil rekomendasi Dispute Review Board tersebut sangat menggembirakan dan diapresiasi oleh para pihak.
Keberadaan Dispute Board juga digunakan oleh Bank Dunia secara resmi pada tahun 1995 dimana pada saat itu dipublikasikannya Standar Dokumen Penawaran Bank Dunia dengan melakukan modifikasi pada persyaratan Federation Internationale des Ingenieur Counsiels (FIDIC) dengan menghilangkan ketentuan Engineer’s Decision dengan mengalihkannya kepada Dispute Board.
Praktik Dewan Sengketa Konstruksi di beberapa negara sudah sering kali digunakan. Dimana sebanyak 98% hasil putusan Dewan Sengketa disetujui oleh para pihak. Menurut studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada penggunaan Dewan Sengketa, dari 237 rekomendasi pencegahan sengketa, hanya 22 sengketa (7%) yang menjadi sengketa dan dari 512 putusan sengketa, hanya 37 sengketa (6%) yang berlanjut ke arbitrase.
Sementara itu Peter H.J Chapman dalam tulisannya The Use of Dispute Boards on Major Infrastructure Project (2015) berdasarkan data The Dispute Resolution Board Foundation (DBRF), pada awal tahun 2007 sudah lebih dari 1350 proyek menggunakan Dispute Board dengan total nilai proyek mendekati USD140M. Walaupun masalah kerahasiaan tetap menjadi perhatian, hampir 2500 perselisihan telah menjadi objek dari keputusan Dispute Board. Menurut penelitian DBRF terungkap bahwa lebih dari 98% perselisihan yang masuk ke Dispute Board dapat diselesaikan permasalahannya dengan menggunakan keputusan dari Dispute Board. Sedangkan 2% sisanya dirujuk ke arbitrase/pengadilan. Setengahnya menegakkan keputusan Dispute Board dan kurang dari 1% membatalkan keputusan Dispute Board.
Menurut Sarwono Hardjomuljadi,2018 suatu dewan sengketa sudah dibentuk sejak awal mulai proyek, dewan sengketa juga harus diberikan dokumen kontrak seperti persyaratan kontrak, gambar, spesifikasi dan program kerja. Kelengkapan dokumen kontrak tersebut dibutuhkan agar para anggota dewan sengketa menjadi terbiasa dengan proyek yang sedang dikerjakan. Dewan sengketa melakukan kunjungan lapangan secara teratur untuk bertemu dan mengamati kemajuan dan jika ada permasalahan proyek.
Para anggota dewan sengketa yang sudah terlibat sejak awal, memahami isi kontrak, dan mengetahui perkembangan proyek, maka ketika terjadinya sengketa dewan sengketa tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan pertimbangan. Dapat diartikan disini bahwa peran dewan sengketa utamanya adalah membatu para pihak untuk menghindari sengketa dan menyelesaikannya melalui negosiasi yang bersifat kekeluargaan. Akan tetapi jika para pihak tersebut gagal menyelesaikan sengketanya langkah berikutnya yaitu menyampaikannya kepada dewan sengketa untuk dimintakan penetapan. Sehingga dapat dipahami disini dewan sengketa berfungsi untuk mencegah terjadinya sengketa dan penyelesaian sengketa secara dini tanpa menyimpan sikap permusuhan.
Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Kerja dan Petunjuk Teknis Dewan Sengketa Konstruksi memberikan pengaturan teknis bagaimana Dewan Sengketa Konstruksi dalam pelaksanaan sebuah kontrak kerja konstruksi. Tugas utama Dewan Sengketa Konstruksi adalah mencegah perselisihan para pihak, menyelesaikan perselisihan melalui pemberian pertimbangan profesional sesuai kebutuhan atau menyelesaikan sengketa melalui rumusan kesimpulan formal yang dituangkan dalam putusan dewan sengketa.
Dewan Sengketa Konstruksi merupakan bentukan atau pilihan para pihak (pengguna jasa dan penyedia jasa) berdasarkan Perjanjian Kerja Dewan Sengketa. Anggota dari Dewan Sengketa Konstruksi untuk suatu proyek konstruksi berjumlah gasal, diperkenankan hanya beranggotakan 1 (satu) orang atau paling banyak 3 (tiga) orang. Syarat untuk dapat ditunjuk sebagai Dewan Sengketa Konstruksi antara lain WNI, fasih dalam bahasa yang ditetapkan dalam kontrak kerja konstruksi, tidak memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pengguna jasa dan penyedia jasa serta memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan seperti memiliki pengalaman profesional dalam menginterpretasikan dokumen kontraktual, memahami regulasi dan aspek-aspek teknis pekerjaan konstruksi yang berlangsung.
Kesepakatan penggunaan Dewan Sengketa Konstruksi biasanya sudah ditentukan oleh pengguna jasa pada saat penawaran pekerjaan konstruksi dalam tender jasa konstruksi. Sehingga calon penyedia jasa yang akan ikut serta dalam tender sudah mengetahui akan hadirnya Dewan Sengketa Konstruksi sejak awal dimulainya kontrak. Hal ini berpengaruh pada pembiayaan Dewan Sengketa Konstruksi yang dibebankan kepada para pihak dengan komposisi masing-masing 50% yang ditentukan berdasarkan kesepakatan terhadap persyaratan, jumlah dan besaran biaya anggota Dewan Sengketa Konstruksi sebelum melakukan penandatanganan kontrak. Dapat digambarkan dalam estimasi alokasi biaya untuk 3 (tiga) orang Dewan Sengketa sekitar 0,05% sampai dengan 0,3% dari total biaya proyek. Dengan asumsi proyek senilai Rp.500Miliar, masing-masing pihak akan dibebankan biaya Rp.125.000.000,- sampai dengan Rp.750.000.000,-
Estimasi pembebanan biaya untuk Dewan Sengketa Konstruksi untuk suatu proyek konstruksi yang nilai pekerjaannya sangat besar, akan lebih menguntungkan menggunakan Dewan Sengketa Konstruksi dibanding biaya yang harus ditanggung oleh para pihak ketika sebuah perselisihan tidak dicegah sejak awal dan berlanjut pada penyelesaian sengketa ke arbitrase atau proses litigasi (pengadilan).
Hadirnya Dewan Sengketa Konstruksi dalam pelaksanaan suatu kontrak kerja konstruksi memiliki peran yang sangat krusial terutama untuk mitigasi risiko timbulnya sengketa antara pengguna jasa dengan penyedia jasa. Dengan dilakukannya mitigasi risiko sengketa konstruksi sejak dini diharapkan pekerjaan konstruksi dapat diselesaikan tepat waktu, tepat mutu dan tepat biaya. Begitu pula dengan hubungan baik antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang tetap terjaga manakala suatu proyek konstruksi dapat berjalan dengan lancar dan minim terjadinya perselisihan atau sengketa.
Referensi:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
3. Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Petunjuk Teknis Dewan Sengketa Konstruksi;
4. Peter H.J Chapman, The Use of Dispute Boards on Major Infrastructure Projects. The Turkish Commercial Law Review Volume 1 Issue 3. Turkey: 2015;
5. Sarwono Harjomuljadi, Analisis Pengaruh Dewan Sengketa dan Arbitrase terhadap Penyelesaian Sengketa Konstruksi Berdasarkan FIDIC Condition of Contract 2017. Jurnal Konstruksia Volume 10 Nomor 1. 2018.
Penulis: Aprilia Gayatri, S.H. (Jafung Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Muda, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait