SURABAYA, iNews.id - Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro ternyata dikenal sebagai Ahli Tirakat. Ia pun kerap menyendiri dan bahkan meninggalkan kesenangan duniawi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Salah satu tempat yang kerap dijadikan Pangeran Diponegoro untuk menyepi yakni beberapa tempat suci dan areal keramat, yang sering dikaitkan dengan Dinasti Mataram.
Dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" karya Peter Carey, periode menyepi dan tirakat Pangeran Diponegoro sebagai bentuk kezuhudan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tindakan ini dilakukan untuk mundur sejenak dari dunia ramai, seperti yang dilakukan oleh seseorang yang sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan suatu tugas khusus yang penting di masa depan.
Tirakat ini memberi kepada seseorang masa jeda untuk menyendiri agar dia dapat membersihkan diri dari segala macam pamrih. Konon selama tirakat di salah satu gua bernama Gua Song Kamal, di distrik Jejeran, selatan Yogyakarta, ada satu penampakan yang datang kepada Pangeran Diponegoro.
Sunan Kalijaga merupakan satu dari sembilan Wali Songo menampakkan diri dalam rupa seorang laki-laki yang wajahnya bersinar bagai bulan purnama. Sunan Kalijaga menyatakan, bahwa Diponegoro telah ditentukan Tuhan untuk menjadi raja di masa depan nanti. Setelah mengatakan demikian, penampakan itu langsung menghilang.
Penampakan Sunan Kalijaga dan ramalannya bahwa Diponegoro bakal menjadi raja jelas sangat penting. Sebab, sang wali tak sekadar dihormati sebagai penasihat para raja di Jawa Tengah bagian selatan dan pelindung spiritual Mataram. Tetapi cerita rakyat menjelaskan sebagai tokoh kunci Islamisasi di wilayah itu.
Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, yang berdampingan dengan Masjid Agung Demak masih dihormati oleh para raja Jawa sebagai dua pusaka terpenting di tanah Jawa. Sejak awal abad ke-16 para peziarah dari berbagai keraton rutin mengunjungi dua tempat itu.
Pada sejarah perpolitikan Jawa, Kalijaga juga dilihat sebagai tokoh yang memimpin pembagian Jawa di Giyanti. Namun dampak dari Perjanjian Giyanti itu tidak terlalu banyak mempengaruhi sikap Diponegoro. Dirinya sendiri sebagai sosok yang mengatasi pembagian politis semacam itu. Sebab dia lebih mencita-citakan untuk memerintah seluruh Jawa sebagai pandita ratu atau imam raja.
Dari sisi lain, penampakan Sunan Kalijaga ke Pangeran Diponegoro penting karena gaya kepemimpinan politik yang dimainkan Sang Wali dijadikan contoh oleh Pangeran Diponegoro. Seperti Sunan Kalijaga, Diponegoro tidak hanya sampai pada pemahaman dirinya semata-mata sebagai penguasa untuk masa tertentu, tetapi juga sebagai penjaga spiritual para Raja Jawa.
Penampakan Sunan Kalijaga ke mata Diponegoro, seolah membantu melegitimasi dan mendukung pemberontakan yang terjadi kemudian. Proses ini diperkuat lagi dengan gambaran mimpi Diponegoro, persis sebelum pecahnya Perang Jawa pada 16 Mei 1825, ketika ia menggambarkan pertemuan delapan wali wudhar, yaitu wali yang sedang memangku dakwah spiritual maupun temporal.
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait