JAKARTA, iNewsMedan.id - Kontribusi dana Results Based Payment (RBP) REDD+ terhadap kelestarian hutan Indonesia menjadi topik utama dalam diskusi yang diselenggarakan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di Hotel Gran Meliá, Jakarta, pada Kamis (7/8/2025). Acara ini mempertemukan para pemangku kepentingan untuk membahas peran penting pendanaan berbasis kinerja dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Dalam diskusi, Direktur Eksekutif Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI), Masrizal Saraan, menyoroti peran strategis lembaga perantara (lemtara) dalam memastikan dana RBP REDD+ tersalurkan secara efektif. Menurut Masrizal, lemtara berfungsi sebagai penghubung antara kebijakan nasional dan implementasi program di tingkat lapangan, bekerja sama dengan pemerintah provinsi.
"Lemtara menjadi penghubung strategis antara kebijakan yang dibuat di tingkat nasional dengan aksi nyata di lapangan," ujar Masrizal.
PETAI, yang ditunjuk sebagai lemtara melalui proses seleksi dan verifikasi, bertugas memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan proyek yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari. Proyek-proyek ini tidak hanya bertujuan untuk menyerap emisi karbon, tetapi juga untuk membangun kapasitas masyarakat, memperkuat kelembagaan, dan mendorong ekonomi berbasis hutan.
"Hingga saat ini, kami melihat kemajuan positif, mulai dari penguatan kelembagaan KPH, pengamanan kawasan melalui patroli hutan, penanganan kebakaran hutan dan lahan, penguatan kelembagaan perhutanan sosial, pendampingan budidaya HHBK, hingga penguatan rantai nilai komoditas HHBK," jelas Masrizal.
Meski demikian, Masrizal juga mengakui adanya tantangan, seperti keterbatasan kapasitas teknis kelompok penerima manfaat, dinamika internal komunitas, dan sinkronisasi program lintas lembaga. Ia menekankan bahwa fasilitasi tidak hanya sebatas pendampingan teknis, tetapi juga membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang.
Pembelajaran penting yang didapat dari implementasi RBP REDD+ adalah kebutuhan akan mekanisme distribusi manfaat yang transparan dan partisipatif, serta integrasi program dengan perencanaan pembangunan daerah. Hal ini, menurutnya, akan membuat masyarakat merasa memiliki dan secara langsung menjadi penjaga terdepan hutan.
Selain Masrizal, diskusi ini juga dihadiri oleh perwakilan dari BPDLH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, yang turut menyoroti bagaimana dana RBP REDD+ dapat menjadi instrumen nyata dalam mendorong aksi mitigasi perubahan iklim dan pelestarian hutan di Indonesia.
Editor : Jafar Sembiring
Artikel Terkait