JAKARTA, iNewsMedan.id - Sjafrie Sjamsoeddin kini menjadi menteri pertahanan (menhan) menggantikan Prabowo Subianto yang telah resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Bagi keduanya, Prabowo dan Sjafrie Sjamsoeddin bukan mengenal baru sehari atau dua saja.
Keduanya telah bersahabat sejak sama-sama masih berdinas di TNI terutama di Korps Baret Merah Kopassus. Sederet prestasi Sjafrie Sjamsoeddin selama berdinas pun tercatat dalam sejarah. Salah satunya saat mendampingi Presiden Soeharto berkunjung ke Bosnia pada 1995 yang saat itu dalam perang berkecamuk.
Kala itu Sjafrie Sjamsoeddin berpangkat kolonel dan menjabat Komandan Grup A Paspampres yang langsung mengawal ketat Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto menembus zona konflik yang penuh dengan ancaman sniper. Meski ditawari rompi antipeluru, Soeharto menolaknya dan memilih untuk menyamar agar tidak menjadi target utama. Perjalanan menegangkan ini membuktikan keberanian Soeharto dalam menjalankan misi diplomasi kemanusiaan.
Sikapnya yang tenang bahkan menolak mengenakan rompi antipeluru, menunjukkan keberanian dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama manusia.
Saat itulah Sjamsoeddin menghadapi tantangan berat saat mengawal Presiden Soeharto ke Bosnia. Di tengah situasi yang sangat berbahaya, Sjafrie harus memastikan keselamatan presiden dari ancaman sniper.
Dengan kecerdasan dan keberaniannya, Sjafrie berhasil membawa Soeharto keluar dari situasi genting tersebut. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya peran Paspampres dalam menjaga keselamatan pemimpin negara.
Melansir "Pak Harto: The Untold Stories", Komandan Grup A Paspampres Sjafrie Sjamsoeddin membagikan pengalamannya melindungi Presiden Soeharto dari ancaman penembak jitu atau sniper.
Jenderal baret merah Kopassus itu mengungkapkan ketika itu tidak ada satu pun utusan di PBB yang dapat menjamin keselamatan Soeharto ketika hendak ke Bosnia.
Apalagi saat itu pesawat PBB yang membawa utusan khusus PBB Yasushi Akashi ditembak jatuh ketika melintasi langit Bosnia.
Sjafrie lalu menyampaikan informasi tersebut kepada Presiden Soeharto. Namun Soeharto tetap nekat dan bersikeras melanjutkan lawatannya ke Bosnia saat perang masih berkecamuk.
Kebulatan tekad Soeharto mengunjungi Bosnia membuat PBB meminta Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Moerdiono dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas yang juga mendampingi agar membujuk Presiden Soeharto untuk mau menandatangani surat pernyataan yang isinya PBB tidak bertanggung jawab jika selama kunjungannya ke Bosnia terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanpa keraguan, Soeharto langsung menandatangani surat tersebut dan melanjutkan perjalanannya ke Bosnia dengan menggunakan pesawat carteran Rusia.
Soeharto sebenarnya pergi membawa misi menengahi konflik serta menunjukkan simpatinya pada umat Muslim di sana yang mengalami penindasan oleh sekelompok etnis. Setelah satu jam perjalanan dari Bandara Kroasia, Soeharto akhirnya tiba di Bandara Bosnia. Namun, ketika sampai di Bosnia, tiba-tiba Soeharto menolak menggunakan rompi antipeluru yang sudah dipersiapkan. Bahkan, Soeharto meminta Sjafrie untuk membawakan rompi antipeluru tersebut.
"Eh Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," kata Sjafrie menirukan ucapan Soeharto.
Sikap Soeharto yang terbilang nekat itu membuat abituren Akademi Militer (Akmil) 1974 ini kebingungan. Sjafrie yang kenyang dengan pengalaman tempur di medan operasi melihat sangat banyak sniper menggunakan amunisi kaliber 12.7 mm di sekitar bandara dalam posisi siap tembak.
Suasana pun semakin mencekam lantaran suara dentuman meriam sangat jelas terdengar. Dengan kemampuannya di bidang intelijen Sjafrie langsung meminjam jas dan peci hitam yang sama persis dengan yang dipakai Soeharto untuk mengelabui para sniper yang ada di sekitarnya. Mantan Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) terus menempel Soeharto demi melindungi orang nomor satu di Indonesia ketika itu.
"Ini untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," kata Sjafrie.
Soeharto kemudian disambut Pasukan Kontingen Garuda XIV yaitu prajurit TNI yang bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Bosnia. Soeharto dijemput menggunakan kendaraan lapis baja bertuliskan UN. Sjafrie langsung membawa Soeharto masuk ke kendaraan lapis baja tersebut menuju Istana Kepresidenan Bosnia untuk bertemu Presiden Bosnia Alja Izetbegovic.
Meski telah masuk ke dalam kendaraan lapis baja bukan berarti sudah aman. Selama perjalanan, Soeharto harus melewati sejumlah titik rawan dari para penembak jitu, sepeti Sniper Valley atau yang dikenal dengan sebutan lembah sniper. Di lembah itu sangat banyak penembak jitu yang siap membidik para targetnya. Rombongan Soeharto pun akhirnya tiba di Istana Kepresidenan Bosnia dengan selamat.
Kala itu istana kepresidenan dalam kondisi sangat memprihatinkan. Mulai dari ketiadaan air, sehingga harus mengambil air bersih dengan ember hingga suara tembakan meriam dari jarak dekat dengan istana yang masih terdengar. Setelah tiga jam melaksanakan kunjungan, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia.
Saat kembali ke Indonesia, Sjafrie sempat bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya.
"Kita ini pemimpin Negara Nonblok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, moralnya naik dan mereka menjadi tambah semangat," ucap Soeharto.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait