Pada tanggal 14 februari 2024 Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi, pesta demokrasi merupakan ajang kontestasi politik setiap lima tahun sekali yang memberikan ruang untuk keterlibatan masyarakat secara langsung dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat kedepannya. Nasib rakyat tidak lain ditentukan oleh pemimpin melalui kebijakan publik berdasarkan ketentuan undang-undang yang sah. Sebagai pengemban amanat rakyat, penyelenggara negara sudah seharusnya memastikan kesejahteraan dan kesetaraan serta terpenuhinya hak-hak rakyat.
Seluruh warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam mengikuti pesta demokrasi tahun 2024 mendatang, baik itu sebagai pemilih, sebagai penyelenggara dan juga sebagai peserta pemilihan umum. Dalam hal menjadi pemilih sebagaimana yang di ataur di dalam Berdasarkan Pasal 1 PKPU No. 7 Tahun 2022, Pemilih dalam Pemilu adalah warga negara Indonesia (WNI) yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Pemilih dalam Pemilu ini memiliki hak untuk memilik pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Warga negara yang ingin menjadi penyelenggara seperti penyelenggara pelaksana dapat mendaftarkan diri dengan syarat usia minimal 40 tahun untuk KPU RI, 35 tahun untuk KPU Provinsi, 30 tahun untuk KPU Kota/Kabupaten, 21 tahun untuk PPK, 17 tahun untuk PPS dan KPPS, sedangkan untuk mendaftar penyelenggara pengawas minimal usia untuk mendaftar adalah 40 tahun untuk BAWASLU RI, 35 tahun untuk BAWASLU Provinsi, 30 tahun untuk BAWASLU Kota/Kabupaten, 25 tahun untuk Panwascam dan 21 tahun untuk PKD dan PTPS. Generasi milenial yang ingin menjadi penyelenggara dapat mendaftarkan diri sesuai dengan persyaratan usia sesuai dengan undang-undang nomor 7 tahun 2017.
Seluruh warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama dalam hal ingin menjadi penyelenggara pemilihan umum baik itu berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan, pada saat ini neraga memberikian kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi penyelenggara pada pemilihan umum mendatang, hal ini memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Undang-Undang 7 Tahun 2017 dimana dalam hal ingin menjadi penyelenggara para perempuan mendapatkan porsi khusus yaitu 30% keterwakilan dari jumlah laki-laki yang ada di penyelenggara hal ini sejalan dengan cita-cita ibu kita kartini yang telah memperjuangkan persamaan gender dan persamaan drajat antara laki-laki dan perempuan, arttinya segala pekerjaan yang bisa di lakukan laki-laki maka perempuan harus mendapatkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan itu juga.
Akan tetapi kuota keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik serta kesetaraan gender perempuan masih minim. Seluruh pihak perlu bahu-membahu membuka ruang seluas-luasnya, bukan hanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat, namun juga memperoleh pengatahuan, memperluas pemahaman, dan meningkatkan keterampilannya. Sehingga kelak ketika mereka duduk di kursi-kursi penyelenggara akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsif, inklusif dan humanis sehingga pemilihan umum mendatang akan berjalan sesuai asas luber jurdil.
Bercermin dari pemilihan umum tahun 2019 lalu ada banyak perempuan-perempuan yang terlibat dalam mensukseskan pemilu, di Bawaslu RI ada ibu Dr. Ratna Dewi Pettalolo. SH. MH dan di KPU Ri ada ibu Evi Novida Ginting Manik, keduanya merupakan sosok perempuan yang mengisi pormasi 30% keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilihan umum, masing-masing dari mereka mampu menjalankan tugasnya dan mampu bersaingan dengan para laki-laki yang ada di penyelenggara pemilu lainnya, dalam hal prestasi kedua wanita komisioner Bawaslu RI dan komisioner KPU RI tersebut mampu menorehkan prestasi baik yang tidak kalah dengan prestasi para komisioner Bawaslu dan Komisioner KPU lainnya.
Peran aktif perempuan sangat dibutuhkan dalam mensukseskan pemilihan umum tahun 2024 seperti membantu melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran pada pemilihan umum seperti pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana pemilu, perempuan dapat ikut serta memberikan informasi jika ada peserta pemilu yang ingin melakukan kecurangan seperti melakukan many politik, jika menemukan praktek seperti itu maka kaum perempuan harus berani melaporkan kepada pengawas pemilu (Bawaslu), perempuan juga harus membantu mensosialisasikan larangan-larangan di dalam pemilihan umum, bisa dilakukan secara online (media sosial) atau dari offline (mulut ke mulut).
Saat ini perempuan lebih aktif beraktifitas di media sosial daripada laki-laki, serta lebih sering berinteraksi Bersama teman-teman seperti teman-teman pengajian, teman-teman arisan dan lain-lain, di momen-momen berkumpul diharapkan para perempuan turut aktif membahas hal-hal positif tentang penyelenggaraan pemilu, mengajak sesama perempuan alainnya untuk menolak politik uang, politik identitas dan politik sara serta mengajak teman-temannya untuk menggunakan hak pilihnya di TPS pada pemilihan umum tahun 2024 mendatang, hal ini dilakukan karena kaum perempuan merupakan target ataupun sasaran yang paling renta terhadap politik uang.
Momen pemilihan umum tahun depan layak dijadikan sebagai momentum konsolidasi perempuan untuk membumikan kesetaraan gender. Hal itu bisa dimulai dengan mendorong afirmasi aksi minimal 30 persen keterwakilan perempuan untuk bisa terwujud. Kemudian, mengembangkan kebijakan sensitif gender dalam penyelenggaraan Pemilihan umum dan meningkatkan keterpilihan perempuan. Besar harapan saya kedepannya para perempuan lebih peduli dan lebih aktif dalam mengikuti perkembangan dunia politik agar kaum perempuan terlibat dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat untuk rakyat, saya juga mengajak kepada kaum perempuan untuk ikut mensukseskan pemilihan umum tahun 2024 mendatang agar demokrasi dinegara kita terus berjalan baik dan terpilihlah pemimpin-pemimpin yang pro terhadap rakyatnya.
Penulis: Berliana Sitorus
Editor : Odi Siregar
Artikel Terkait